[13] Flashback 2 : Febi

1.2K 414 38
                                    

"Saya gak suka bunga, lebih suka uang soalnya."
Sharena Febriani

***

Temen kurang ajar!

Gue udah rapi, dia baru ngabarin. Katanya baru bangun tidur dan bilang ke acara nikahan temen gue nanti malam aja sama pacarnya karena sekarang mau siap-siap pergi ke tempat lain.

Dia yang bilang ke gue kemaren buat jangan telat karena setelah pergi kondangan ke rumah temen---temen SD---kita, dia ada urusan ke tempat lain. Emang bener-bener mau gue marah-marahin temen gue yang satu itu. Udah lemot, tukang tidur, suka ngabarin mendadak, harusnya gue gak perlu percaya sama dia yang penuh tipu daya.

Gue kira udah tua, sifatnya bisa berubah. Taunya sama aja, huh!

Gue udah lost contact sama temen-temen SD gue, cuma dia yang masih bisa dihubungi karena dia sering banget nawarin produk jualannya ke gue---walau sering gue tolak secara halus karena gue jarang belanja make up. Satu lagi sama yang mau nikah ini, karena dulu gue sama dia sebangku dari kelas satu sampai enam, jadi kita deket. Sisanya gue udah lupa, bahkan nama temen-temen SD pun gue udah gak inget.

Gak mungkin gue gak dateng, gue harus tetep menghargai dia yang udah berbaik hati ngundang gue ke acara nikahannya. Dengan berat hati, gue pergi kondangan sendiri.

Setelah pamit sama mama, gue mengendarai motor ke tempat temen gue yang menggelar acara pernikahan. Gak terlalu jauh sih, cuma kalau jam-jam segini tuh macet ke arah rumahnya.

Sampai sana, gue memarkirkan motor di tempat yang disediakan. Gue melangkah cepat buat masuk ke dalam rumahnya setelah isi buku tamu, taruh kado, dan ambil souvenir. Karena ramai, jadi gue harus ngantri dulu buat salaman sama pengantin.

"Lho? Katanya kamu dateng sama Yanti, Feb? Dia ke mana sekarang?" tanya wanita yang keliatan manglingi, cantik banget.

Mendengar nama Yanti disebut, gue memutar bola mata dan menghela napas lelah. "Kesel banget gue sama dia. Gue udah rapi tiba-tiba dia bilang baru bangun tidur dan nyuruh gue pergi duluan aja."

Hilda---si pengantin perempuan yang merupakan temen gue---tertawa. Dia juga udah paham se-oneng apa Yanti sampe-sampe sering bikin kesel orang.

"Dia nyusul berarti?"

"Iya, sama pacarnya sih tadi bilang." Gak mau lama-lama ngomongin Yanti, gue kembali bersuara, "Btw happy wedding ya, Da. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan. Aamiin."

"Aamiin. Makasih udah sempetin dateng lho," sahutnya. "Gandenganmu mana? Gak diajak?" Dia basa-basi.

Mendengar apa yang Hilda katakan, gue tersenyum kecut. "Masih cari, doain aja."

"Oke, semoga cepet nyusul, ya?"

Setelah bersalaman dan mengobrol sebentar sama Hilda dan suaminya, gue turun dari pelaminan. Gantian sama tamu lain yang mau salaman dan ngucapin selamat sama pengantin juga.

Gue yang lagi makan es krim dan duduk manis di kursi tamu, milih buat jadi penonton saat ada sesi ala-ala lempar bunga pengantin. Gue gak minat, kurang kerjaan juga rebutan bunga begitu padahal kalau mau pun gue bisa beli pakai uang gue sendiri.

Suasana mendadak riuh di saat hitungan ketiga bunga dilempar dan orang-orang yang udah berkumpul di sana berusaha menangkap buket yang dilempar pasangan pengantin. Mata gue mengikuti arah gerak buket bunganya, dan ternyata berhasil ditangkap sama mas-mas yang pakai kemeja berwarna abu-abu dan celana bahan hitam di sana.

Mitosnya sih, kalau yang berhasil nangkap bunga itu ... seandainya dia lajang, bakalan segera dapat pasangan. Sedangkan kalau udah punya pasangan itu berarti dia dan pasangannya akan menyusul naik pelaminan.

Gue mengedikkan bahu dan memilih menghabiskan es krim yang gue makan, kemudian pulang.

"Mba, Mba!"

Gue yang jalan menuju parkiran motor sambil makan permen---yang dikasih pas ngisi buku tamu, menoleh saat ada yang berjalan mendekat dan menepuk-nepuk bahu.

Siapa sih? Sok akrab banget!

"Kenapa?" Gue mendadak ketus sambil menoleh ke belakang. Lagian kenal enggak pegang-pegang sembarangan.

Mas-mas yang ternyata berhasil nangkap buket bunga tadi, sekarang menyodorkan buketnya ke gue. Gue refleks menaikkan satu alis ke atas, "Ngapain, dah?"

"Ini, buat Mba aja bunganya. Masa saya pulang ke rumah bawa-bawa bunga gini," katanya.

"Suruh siapa masnya ikutan tadi?"

"Penasaran aja," sahutnya sambil nyengir. "Mba gak ada pacar, kan? Ntar takutnya pacar Mba marah kalau saya kasih bunga tiba-tiba. Padahal saya gak ada maksud apa-apa."

Gue sempet ngelirik ke arah buket bunga yang dia sodorkan, kemudian kembali natap laki-laki bertubuh jangkung di hadapan gue ini.

"Bunganya buat Mas aja deh. Saya gak suka bunga, lebih suka uang soalnya." Gue sempet tersenyum tipis---lebih terlihat memaksakan, dan bersuara lagi, "Makasih buat tawarannya, permisi, Mas."

***

A/n : Hadu Mba Febiiii😌 Eh, part Cianya besok yaaa ... gue baru ngeh mau menganu gabisa ngetik tiga part hari ini hiks:(
20/12/20, 21.15

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang