[34] Flashback 5 : Nadine

1.8K 427 76
                                    

"NADINEEEEEE!" Mas Juna berlari dengan cepat dan langsung mengambil paksa gunting yang mau gue gunain buat nusuk perut gue.

Gue langsung nangis keras-keras di depan dia dan bikin Mas Juna meluk gue erat. Gue liat sekilas, matanya juga berkaca.

"Kamu ngapain sih? Kamu mikirin apa sampe kepikiran begini?" lirih Mas Juna, gue gak jawab apa-apa karena lidah gue seolah kelu. Sesak, cuma bisa ngeluarin semua rasa sedih gue lewat tangisan.

Mendengar suara berisik dari kamar, Mamanya Juna dan seorang pembantu di rumah ini datang menghampiri. Dia kaget ngeliat ada pecahan kaca di dekat pintu masuk.

"JUNA? NADINE? INI KENAPA?" Mama kaget banget. Dia nyuruh asisten rumah tangga yang ada di dekatnya buat cepat-cepat ambil sapu dan pengki buat bersihin pecahannya. Mama yang pakai sendal rumah, berjalan hati-hati masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah gue juga Mas Juna. "Ada apa?"

Gue yang masih menenggelamkan wajah di dada bidang Mas Juna, gak mau menjauhkan diri dari sana. Biarin aja dia yang jawab pertanyaan mama.

"Nadine hampir mau bunuh diri, Ma. Untung Juna datang."

"Hah? Ya ampun, Nadine!" Mama duduk di sebelah gue, mengelus punggung gue yang masih bergetar karena menangis. "Nadine, kenapa kamu kepikiran buat lakuin itu? Tapi dia gak apa-apa kan, Jun?"

"Hm, untungnya belum sempat, Ma. Seandainya Juna datang sedikit lebih lama, Juna gak tau apa yang bakalan terjadi."

***

Semenjak kejadian beberapa hari lalu di mana gue mau mengakhiri hidup, Mas Juna jadi lebih posesif dan selalu mau tau kabar gue. Kalau gue lagi gak sama dia, dia bakalan sering telpon atau minta video call supaya bisa tau gue di mana dan lagi ngapain. Dia selalu hibur gue di rumah dan mastiin gue banyak ketawa saat sama dia.

Meski begitu, ada saat di mana gue masih ngerasa sedih dan gak berguna. Biasanya itu terjadi di malam hari, dan saat suami gue udah tidur.

Gue suka mikir, mungkin gak sih Mas Juna bakalan tetap pertahanin gue sampai lima atau sepuluh tahun kedepan? Mungkin gak sih dia bakalan terus cinta sama gue kaya sekarang? Gimana kalau suatu saat dia milih buat nyerah dan mutusin buat berhenti perjuangin gue? Gimana kalau semua kata-kata manisnya ternyata cuma bullshit? Gue takut. Jujur, gue takut.

"Sayang, kok belum tidur?" Gue yang lagi natap jendela dengan pandangan kosong, kaget saat mendengar suara serak Mas Juna dan tangannya yang melingkar di perut gue dan menaruh dagunya di bahu kanan gue.

Gue menghapus air mata yang turun di pipi dengan jari telunjuk, kemudian mengelus tangan kanannya yang meluk gue dari belakang.

"Gak apa-apa, gak bisa tidur," sahut gue dengan nada bergetar dan bikin Mata Mas Juna terbuka sempurna. Dia menjauhkan dagu dari bahu gue, kemudian menatap wajah gue dalam-dalam.

"Masih kepikiran masalah yang sama, Nadine?" bisiknya, gue mengangguk. "Ini bukan salah kamu, Sayang. Jangan terus-terusan ngerasa bersalah. Aku gak suka," lanjut Mas Juna lagi yang duduk di samping kanan gue. Rangkulannya pindah ke pinggang dan gue memilih menyandarkan kepala ke bahunya.

"Maaf ya, beberapa hari ini aku bikin kamu khawatir dan capek. Khawatir aku bakalan lakuin hal yang sama, dan capek karena harus selalu buat mood-ku baik-baik aja. Kamu juga pasti capek liat aku tetep jadi orang yang overthinking gini, ngerasa usaha kamu sia-sia gak sih?" Sekarang, gue mendongak biar bisa natap suami gue walau dari bawah.

"Aku gak pernah kepikiran kalau aku capek ngadepin kamu, Sayang. Mungkin aku lebih ke sedih, karena aku kasian liat kamu kaya gini."

Gue memencet pipinya pakai jari telunjuk, kemudian tersenyum tipis. "Kamu itu terlalu berlebihan cinta sama aku, padahal aku gak lakuin apa pun buat kamu."

"Gak apa-apa, kan kamu istriku, wajar kalau aku cinta."

"Mas?"

"Hm?" Dia ngecup kepala gue sekilas, kemudian mengeratkan rangkulan di pinggang gue.

"Kalau seandainya kamu ngerasa kamu gak sanggup lagi sama aku, bilang aja, ya? Lebih baik terus terang daripada kamu selingkuh di belakang aku," ucap gue pelan.

"Kalau seandainya aku mau terus ada di samping kamu dan mau sama kamu aja gimana?"

Mendengar itu, gue terkekeh. Mas Juna menunduk, dia ikut tersenyum dan akhirnya mengecup bibir gue singkat.

"Cheesy banget, tapi makasih. Ucapan kamu bikin aku jauh lebih tenang."

"Aku rasa kamu perlu me time deh, buat nenangin diri kamu. Aku yakin kamu begini karena kurang piknik," katanya. "Sibuk sama kerjaan, sibuk dengar omongan orang, sibuk nyerap energi negatif di sekitar kamu."

"Hm, mungkin."

"Minggu ini kamu pergi aja sama temen-temen kamu. Waktu itu kamu bilang mau pergi sama temen-temen sekolahmu. Kapan?"

Gue menghela napas. "Selalu berujung wacana, Mas. Sebulan lalu tuh sempet mau jalan-jalan bareng, tapi ada aja yang gak bisa ikut. Sedangkan aku mau bisa pergi sama semuanya." Ada jeda dalam ucapan gue, "Ya urusan kerja, lah. Acara keluarga, ini-itu, sampe bingung kapan bener-bener bisa ketemu full lagi. Padahal sama-sama di Jakarta, tapi luangin waktu buat ketemu aja gak bisa," keluh gue yang bikin Mas Juna mengelus rambut gue.

Terakhir kumpul bareng tuh setaun lalu, bayangin coba? Padahal pas jaman sekolah, hampir gumoh gara-gara mainnya sama mereka terus. Sampe ada di titik jenuh karena ketemu orang yang sama hampir setiap hari.

"Coba aja lagi, siapa tau yang kali ini mereka mau," katanya, menenangkan gue. "Gak perlu yang jauh, yang penting bisa saling tatap muka."

"Oke, besok aku coba chat lagi di grup," respons gue. "Oh iya, Mas. Tapi kan minggu ini  Tante Rere undang kita buat datang ke pembukaan resto barunya? Kalau aku gak datang gak enak."

"Ada Cellyn di sana. Kamu tau kan Cellyn deket sama Tante Rere?" Ucapannya bikin gue ngangguk. Walau hubungan Juna dan Cellyn baik-baik aja, tetap aja Tante Rere selalu nyinyir karena gak senang liat Juna putus dari Cellyn dan menikah sama gue. "Aku gak mau kamu jadi bahan perbandingan dan bikin kamu makin down," bisiknya. "Aku juga gak ada niat buat datang ke sana. Mau ikut futsal sama Roni, udah lama gak main futsal karena sibuk kerja."

"Dasar! Padahal lumayan kan bisa makan gratis?"

"Aku bisa beli pakai uangku sendiri, Sayang."

"Huuuu, sombong," ledek gue sambil menusuk pipinya pakai jari telunjuk buat kedua kali, yang bikin dia tergelak.

Gue ikut nyengir ngeliat wajah Mas Juna. Kita saling tatap beberapa saat, sampai akhirnya dia menghentikan tawa dan mendekatkan bibirnya ke bibir gue. Gue memejamkan mata dan membiarkan dia melakukan apa yang dia---dan gue tentunya---suka.

***

A/n : Double update, lagi mau hehehe
3/2/21, 19.25

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang