"Bisa tidak sekali saja, kamu tidak membuat masalah Alvian?!" begitulah bentakan Pak Dadang, salah satu guru bimbingan konseling yang setiap harinya di buat pusing oleh tingkah Alvian.
Setelah mendengar ada keributan yang terjadi lagi dan lagi antara Alvian dan Rafael, Pak Dadang segera memanggil kedua pembuat remaja itu untuk datang ke ruangannya.
Perkelhian antara keduanya tidak terjadi sekali ataupun dua kali, perkelahian dua murid populer itu seolah sudah rutinitas terjadi di SMA Pelita.
Alvian memandang Pak Dadang dengan tatapan tidak terima, "Kenapa selalu saya yang di bilang buat masalah? Sedangkan dia selalu di bela?" lelaki itu menunjuk Rafael, dirinya tidak terima jika terus disalahkan.
"Rafael mah anak baik, dia gak mungkin ngalawan kalau kamu gak mulai duluan!"
"Bapak ngomong kaya gitu, hanya karna dia anggota OSIS kan? Bapak pilih kasih! Coba lihat juga dari sudut pandang saya Pak, jangan belain dia terus!" ucap lelaki itu mendebat Pak Dadang.
Sungguh Alvian bosan, setiap Rafael memancing amarahnya dan berakhir keributan pasti selalu dirinya saja yang di salahkan.
Rafael selalu di anggap lemah dan dibela hanya karena jabatannya sebagai anggota OSIS, padahal itu hanya bentuk pencitraan.
"Tapi lo mukul gue duluan!" ucap Rafael membela diri.
Alvian menatap lelaki itu dengan tajam, "Lo yang mancing gue duluan, jangan playing victim lo!"
"Sudah-sudah cukup!! Ampun eyke pusying kalau begini terus!" Pak Dadang melerai keduanya yang kembali adu mulut, dengan gaya lemah gemulainya yang khas.
Guru itu lantas memijat pelipisnya pelan, kepalanya yang sudah botak bisa tambah mengkilat kalau terus meladeni dua orang keras kepala ini.
"Alvian sudah! Cepat minta maaf sama Rafael!" ucap Pak Dadang.
Alvian menggeleng, lelaki itu melipat kedua tangannya di dada. "Saya gak akan pernah minta maaf kalau saya gak salah,"
"Alvian! Mau saya buatkan surat pemanggilan orang tua?!"
"Terserah, tapi saya tetap gak mau merendah untuk orang yang derajatnya lebih rendah dari saya. Apa lagi untuk minta maaf, jangan harap." Ucapan tajam itu terlontar begitu saja dari mulut Alvian.
Lelaki itu lantas keluar dari rungan itu tanpa peduli apapun lagi.
Wajahnya jelas terlihat menahan amarah, sekolah dan semua guru disini sangat menyebalkan menurutnya.
Mereka hanya melihat dari satu sudut pandang tanpa mau berfikir secara rasional. Langsung menghamiki siapa yang salah dan benar, tanpa mau tahu secara rinci.
Namun raut wajah lelaki itu berubah drastis saat melihat seorang gadis tengah menunggunya di luar ruang guru, sembari menyandarkan tubuhnya di dinding.
Senyuman Alvian tertarik dan segera menghampiri kesayangannya itu.
"Nunggu'in gue?" suara Alvian membuat gadis itu menoleh ke arahnya.
Tania, gadis itu sudah dua puluh menit menunggu disini. Rasa khawatir dan marah sejak tadi menghantuinya.
Khawatir karena takut Alvian akan di skors atau diberi hukuman yang berat, marah karena lagi dan lagi lelaki itu membuat masalah.
"Manurut lo gimana? Gue disini nunggu Pak Dadang?" tanya gadis itu ketus, membuat Alvian tertawa.
"Gemes banget kalau galak, kaya singa betina." Lelaki itu hendak mencubit pipi Tania, namun gadis itu segera menghempasnya dan menatap lelaki itu tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANIA
Teen FictionAlvian Regananta, nama sejuta makna. Lelaki yang hidup dalam dilema masa remaja dan konflik kehidupan yang membuatnya harus bertahan meski tidak memungkinkan. Dengan segala perjuangannya, Alvian berjalan untuk memperoleh harapan dan pengakuan tenta...