Langit sudah berwarna jingga terang, pertanda bahwa hari sebentar lagi akan berganti malam. Alvian ingin menghabiskan waktunya untuk bermain basket, di halaman rumahnya yang cukup luas.
Sejujurnya beberapa hari ini Alvian sama sekali tidak betah di rumah, karena kakaknya entah dengan tujuan apa jadi lebih sering pulang ketimbang tinggal di apartement orang tuanya.
Alvian mendribble bola basket itu, dan membawanya mendekati ring kecil yang sengaja ia pasang di ujung tembok pembatas rumah.
Meski ring ini berkali – kali sudah di hancurkan oleh sang ayah, karena hobinya bermain basket tidak pernah di restui. Alvian tidak peduli, jika di rusak maka lelaki itu akan tetap memasang yang baru lagi.
"Mau jadi apa kamu main basket terus? Gelandangan?"
"Anak tidak berguna, tidak punya masa depan. Rugi saya membesarkan kamu, kalau tahu kelakuannya seperti ini!"
"Harusnya memang sejak dulu, kamu tidak pernah lahir."
Begitulah kata-kata yang akan Papanya keluarkan jika melihatnya bermian basket, ataupun mengoleksi barang-barang yang berbau olahraga. Dia selalu di kekang, tidak boleh ini tidak boleh itu dan selalu disalahkan dalam segala hal.
Mereka hanya menyayangi Rian si anak sulung yang selalu di emaskan oleh keluarga Regananta, apa – apa selalu Rian, selalu dibandingkan dengan Rian, tolak ukurnya selalu Rian. Seolah Alvian dilahirkan untuk menjadi Rian yang kedua.
"Arghhh!!" dengan emosinya, Alvian melakukan shoot ke arah ring dengan emosi yang menggebu saat mengingat kata-kata ayahnya.
Bola itu masuk kedalam ring dengan sempurna, kemudian memantul ke tanah dan kembali di ambil oleh Alvian. Lelaki itu kembali melakukan dribble berputar halaman rumah, sesekali melakukan pivot sebagai latihan agar lebih lincah.
Bermain basket suatu hal yang membuat Alvian tersembuhkan dari berbagai sakit yang ia alami, tersiksa karena phobia terhadap hujan, rasa sakit dan tekanan yang ia dapat dari keluarganya.
Semua terasa berkurang ketika ia bermain basket, meskipun rasa sakit itu tidak menghilang sepenuhnya.
"Kamu itu harusnya seperti Rian, kakak kamu itu pintar!"
"Contoh Rian! Kapan dia pernah membuat kamu kecewa?!"
"Andai saja Mama punya pilihan, kamu pasti tidak pernah di lahirkan!"
Dengan dada yang bergemuruh hebat, Alvian kembali melakukan Shoot tanpa perhitungan untuk melampiaskan emosinya yang selama ini tertahan. Hingga bola itu melambung tanpa tujuan, dan berakhir di depan pintu rumahnya.
Tepat sekali, saat bola itu melambung menuju pintu rumah Rian baru saja keluar dari sana dan langsung menangkap bola itu dengan segera. Rian mendribble bolanya, sembari manatap Alvian yang sedang berdiri di halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANIA
Teen FictionAlvian Regananta, nama sejuta makna. Lelaki yang hidup dalam dilema masa remaja dan konflik kehidupan yang membuatnya harus bertahan meski tidak memungkinkan. Dengan segala perjuangannya, Alvian berjalan untuk memperoleh harapan dan pengakuan tenta...