Hari ini Aqila dipindahkan ke ruang perawatan. Semua selang di tubuhnya telah ditanggalkan. Dia sudah mulai bicara dan tersenyum. Arvan merasa sangat senang. Dokter Lutfi mengatakan jika operasi Aqila berjalan dengan sukses.
Arvan sudah pergi ke kantor, tetapi jam kerjanya tidak seperti biasa. Berangkat pukul 09.00, setelah Mbak Asih datang menggantikannya menjaga Aqila, lalu balik ke rumah sakit sebelum ashar. Menurut dokter, jika perkembangan Aqila bagus, mau makan dan minum, maka dalam beberapa hari lagi Aqila diperbolehkan pulang. Akan tetapi, pengobatan Aqila belum selesai. Gadis kecil itu harus menjalani sinar dan juga kemo.
Sore ini, Arvan baru saja melangkah masuk ke dalam gedung rumah sakit, ketika matanya menangkap sosok Hafsha dan ibunya sedang berada di gerai penjual roti. Arvan langsung mendekat. Ternyata Hafsha sudah selesai dengan belanjaannya. Bu Nur yang menyadari kehadiran Arvan, langsung menegurnya.
"Nak, Arvan? Dari mana?"
"Baru dari kantor, Bu." Arvan mengulurkan tangannya. Bu Nur menyambut uluran tangan Arvan dengan wajah semringah. Hafsha hanya melihat tidak acuh.
"Jadi Aqila sama siapa?"
"Dengan Mbak Asih, Bu."
"Oh, syukurlah. Ibu tadi ngajak Hafsha untuk besuk Aqila. Sudah beberapa hari ini Ibu minta Hafsha mengantar Ibu untuk menengok Aqila, tetapi Hafsha bilang Aqila belum bisa dilihat." Bu Nur melirik Hafsha sekilas.
"Hafsha benar, Bu. Aqila baru hari ini pindah ke ruang perawatan. Kalau di ICU memang tidak boleh dibesuk, Bu." Arvan menjelaskan dengan sabar. Hafsha mengernyit. Apakah laki-laki di samping ibunya masih laki-laki yang sama dengan yang ditemuinya tiga bulan lalu, satu bulan lalu, atau dua minggu lalu? Atau laki-laki itu memang bunglon?
"Ayo, Bu, Kita naik." Hafsha menggamit tangan ibunya.
"Ayo, Nak Arvan." Bu Nur mengangguk pada Arvan. Arvan pun menyejajarkan langkah Hafsha dan ibunya menuju lift.
Sampai di depan lift, Arvan melirik pada Hafsha. Namun, Hafsha terlihat tak acuh. Arvan benar-benar merasa penasaran melihat perempuan seperti Hafsha.
"Memang kamu tahu kamar Aqila?" Arvan masih menatap Hafsha dari samping. Hafsha sedikit merasa aneh mendengar laki-laki itu memanggilnya dengan 'kamu' saja.
"Tahu, sudah nanya sama Bude Ratih tadi." Hafsha menjawab datar. Entah mengapa, Hafsha pun sudah malas bersikap penuh hormat pada Arvan.
"Oh, kenapa nggak tanya sama aku langsung?"
"Sama saja 'kan, nanya ke Bapak atau nanya ke Bude Ratih."
Arvan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Bu Nur menatap anaknya dengan tatapan heran. Mengapa anaknya yang biasanya selalu lembut dan baik itu menjadi ketus kepada orang tua muridnya?
Pintu lift terbuka. Arvan mempersilakan Bu Nur untuk masuk duluan. Setelah Bu Nur dan Hafsha masuk, Arvan pun bergegas masuk.
Sampai di lantai enam, Arvan membawa Bu Nur dan Hafsha menuju kamar Aqila. Begitu membuka pintu kamar, Aqila langsung bersorak girang melihat kedatangan Hafsha, meski suaranya tidak senyaring yang biasa. Hafsha mendekat seraya menggandeng tangan ibunya. Kantong berisi roti yang dibawanya diserahkan Hafsha kepada Mbak Asih.
"Aqila, ini ibunya Bunda. Nenek ingin lihat Aqila. Alhamdulillah Aqila sudah sembuh." Hafsha mengusap kepala Aqila dengan sayang.
"Iya, Bunda, Nenek. Makasih sudah datang." Aqila tersenyum dengan wajah ceria.
![](https://img.wattpad.com/cover/241940577-288-k980393.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?