Dipulangkan

5.4K 230 37
                                    



Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam dari Kota Padang, akhirnya Hafsha dan Adam sampai di Payakumbuh. Mereka melanjutkan perjalanan ke kampung Hafsha, Balubuih. Balubuih adalah kampung yang sangat asri. Di kiri dan kanan jalan yang tidak terlalu lebar, terbentang hamparan sawah sejauh mata memandang. Pepohonan dan rumah-rumah penduduk yang sederhana, menambah pesona kampung yang masih sangat alami tersebut. Ditambah lagi dengan Bukit Batu Manda yang berdiri kokoh di tengah-tengah kampung. Rumput hijau membungkus seluruh permukaan bukit. Terlihat begitu indah.

Entah mengapa, selama sekian jam dalam perjalanan, Hafsha melihat sikap Adam yang sangat jauh berbeda dari biasanya. Laki-laki yang menikahinya dua tahun lalu itu tidak banyak bicara. Ucapan dan pertanyaan Hafsha hanya ditanggapi dan dijawab sekadarnya. Mereka lebih banyak melewati perjalanan dalam diam. Padahal, biasanya Adam tidak seperti itu.

Sebelum azan zhuhur, mereka sampai di rumah sederhana Hafsha. Pak Imam, Ayah Hafsha menyambut kedatangan keduanya dengan gembira. Setelah menyalami dan mencium tangan sang ayah, Hafsha pamit ke dapur untuk menyiapkan minuman. Dapur sederhana dengan tungku kayu itu terletak di halaman belakang, terpisah dari rumah. Luasnya hanya 3 x 3 meter, tetapi terlihat sangat rapi dan bersih. Ibunya selalu merapikan semua isi rumah dan dapur sebelum berangkat ke pasar untuk berjualan.

Hafsha menyusun kayu bakar dan mulai menghidupkan api. Setelah api cukup besar, gadis itu segera menaikkan ceret ke atas tungku. Lalu disiapkannya gula dan teh ke dalam dua buah cangkir. Sembari menunggu air mendidih, gadis berhijab lebar itu membuka tudung saji di meja kayu yang berada tidak jauh dari tungku. Terlihat goreng telur bulat dengan cabe merah, goreng terung dan ikan asin, serta sayur bayam. Air liur Hafsha langsung encer melihat menu makan siang yang tersaji.

Tidak menunggu terlalu lama, bunyi air di ceret mulai terdengar. Hafsha segera mengambil kain untuk melapisi tangannya dan mengangkat ceret dari atas tungku. Dituangkannya air yang sudah mendidih itu ke dalam cangkir. Bau harum teh menguar memenuhi ruangan dapur kayu. Hafsha mengaduknya dan menatanya di atas nampan. Lalu segera dimatikannya api yang masih menyala di tungku.

Dengan senyum di sudut bibirnya, gadis berwajah bening itu melangkah menuju ruang depan. Namun, begitu sampai di ruangan sederhana yang catnya sudah terlihat kusam itu, Hafsha hanya melihat ayahnya duduk bersandar seorang diri. Mata Hafsha celingukan mencari keberadaan Adam.

"Bang Adam kemana, Yah?" Hafsha meletakkan nampan di atas meja.

"Dia sudah pergi." Suara sang ayah terdengar bergetar. Hafsha memandang ayahnya dengan wajah bingung.

"Pergi? Maksud Ayah?" Hafsha berlari ke luar rumah. Jalan kecil di depan rumahnya terlihat kosong. Pak Imam bangkit dengan susah payah dan mengejar Hafsha ke halaman.

"Lupakan dia Hafsha. Dia bukan laki-laki sejati." Laki-laki berusia 55 tahun itu berkata dengan rahang mengeras. Dada Hafsha langsung berdenyut.

"Maksud Ayah apa?" Hafsha bertanya dengan tatapan nanar. Suara gadis itu terdengar parau.

"Dia telah memulangkanmu pada Ayah." Laki-laki yang rambutnya telah mulai memutih itu berkata dengan dada yang terasa begitu sesak.

Hafsha terhuyung. Untuk beberapa saat gadis itu serasa berhenti bernapas.

"Tapi, kenapa, Yah? Hafsha salah apa? Mengapa dia tidak mengatakan langsung pada Hafsha?" Gadis sederhana itu terduduk dengan tubuh lemah di tanah. Air mata turun membasahi pipinya.

"Hafsha, kamu tidak pantas menangisi laki-laki seperti itu." Pak Imam mengepalkan tangannya dengan kuat. Ada yang serasa mau meledak di dalam dadanya mengingat bagaimana menantu yang selama ini dianggapnya baik, memulangkan anak gadisnya tanpa alasan apa-apa. Dengan penuh amarah, ia pun mengusir menantunya itu sebelum Hafsha kembali. Ia tidak ingin laki-laki itu menyaksikan kehancuran anaknya. Ia tidak ingin laki-laki kurang ajar itu menyaksikan ratapan pilu anak gadis semata wayangnya.

"Kami baik-baik saja, Ayah. Kami tidak punya masalah apa-apa. Dan Bang Adam tidak pernah mengatakan apa-apa pada Hafsha." Apa yang ditakutkan oleh sang ayah pun terjadi. Hafsha benar-benar meratap dengan pipi basah bersimbah air mata.

"Sudah, Nak. Jangan seperti ini. Ayo bangun, Ayah antar ke kamarmu. Istirahat dulu di kamar. Tenangkan pikiranmu." Pak Imam berlutut di samping Hafsha. Meski laki-laki itu juga sudah tidak bertenaga, tetapi ia masih mencoba membawa Hafsha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar gadis itu bangkit dan mengikuti langkah ayahnya ke kamar.

Setelah sang ayah menutup pintu kamar, Hafsha membaringkan tubuhnya yang serasa tidak bertulang di atas dipan kayu. Mata basahnya nanar menatap langit-langit kamar. Semua serasa mimpi. Hanya dalam hitungan detik, semuanya tiba-tiba berubah. Adam memulangkannya kepada sang ayah. Apakah itu artinya, suaminya itu telah menalaknya? Mengapa Adam tidak langsung bicara padanya. Mengapa laki-laki itu tidak mengatakan apa alasannya melakukan semua ini? Hafsha terisak dengan dada yang terasa begitu nyeri.

Kemarin mereka masih baik-baik saja. Bahkan dalam dua tahun ini mereka tidak pernah punya masalah yang cukup berarti. Selama dua tahun, Hafsha merasa bahagia dengan pernikahannya. Adam memperlakukannya dengan baik dan Hafsha pun selalu melayani suaminya itu dengan baik.

Hafsha masih ingat bagaimana awal ia mengenal laki-laki itu. Sejak tahun kedua duduk di bangku kuliah, Hafsha telah mengajar mengaji di rumah salah seorang dosennya. Ada tiga orang anak yang diajar Hafsha mengaji. Pada bulan kedua Hafsha mengajar di rumah dosennya itu, Hafsha bertemu dengan Adam yang sedang berkonsultasi skripsi dengan sang dosen.

Hafsha sebenarnya tahu jika Adam adalah seniornya di kampus. Tetapi, selama ini mereka tidak pernah berinteraksi. Adam seorang aktivis sementara Hafsha adalah mahasiswa yang datang dan pulang hanya untuk kuliah. Hafsha memang tidak terlalu suka berkegiatan dan bertemu banyak orang.

Seminggu setelah pertemuan mereka itu, tiba-tiba dosennya mengatakan jika ada seseorang yang ingin taaruf dengan Hafsha. Hafsha yang memang tidak pernah pacaran dan telah bertekad menikah melalui proses taaruf, menerima tawaran sang dosen. Betapa kagetnya Hafsha, ketika pada hari yang telah disepakati, ternyata yang ingin bertaaruf dengannya itu adalah Adam.

Entah mengapa, Hafsha langsung menerima niat baik Adam tersebut. Sampai akhirnya laki-laki itu menemui kedua orang tua Hafsha dan mengkhitbah Hafsha kepada mereka. Ayah dan Ibu Hafsha adalah orang yang cukup paham dengan agama. Selama ini mereka memang tidak mengizinkan Hafsha berpacaran. Tetapi, mereka tidak akan menolak jika ada laki-laki yang datang secara baik-baik untuk menikahi Hafsha. Sehingga ketika Adam datang melamar Hafsha, ayah dan ibu Hafsha pun menerima lamaran tersebut dengan tangan terbuka. Di mata mereka, Adam terlihat baik dan sopan.

Seminggu setelah Adam wisuda, mereka pun menikah. Adam mengajar di salah satu sekolah swasta di Kota Padang. Sementara Hafsha masih harus melanjutkan kuliah dua semester lagi. Setelah satu tahun menikah, Hafsha pun berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan nilai cumlaude.

Mereka memang hidup dengan sangat sederhana. Tetapi, rumah kontrakan mereka selalu dipenuhi gelak dan tawa. Karena keduanya memang tidak berpacaran, maka proses pacaran mereka pun dimulai begitu Adam selesai mengucapkan ijab kabul. Buat Hafsha, hari-hari yang mereka lewati begitu indah. Dan gadis itu bisa melihat jika Adam pun merasakan hal yang sama. Laki-laki itu juga terlihat sangat bahagia dengan pernikahan mereka.

Lalu, mengapa tiba-tiba laki-laki itu memulangkannya pada sang ayah tanpa alasan apa-apa? Kesalahan apa yang telah diperbuatnya?

Bersambung ....

DITALAK TANPA ALASAN  (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang