Ayah Pergi

2.6K 206 10
                                    


"Hafsha, makan dulu, Nak." Bu Nur, Ibunya Hafsha menyentuh bahu Hafsha yang masih berbaring di ranjang. Perempuan berusia 26 tahun itu masih diam menatap langit-langit kamar. Ia hanya bangun ketika melaksanakan sholat zuhur dan ashar. Setelah itu, ia akan kembali naik ke atas tempat tidur.

"Nak, jangan seperti ini. Kamu percaya dengan takdir Allah, kan? Tidak ada satupun yang terjadi di muka bumi ini, selain atas izin-Nya, Nak. Kembalikan semuanya pada Allah, maka hatimu akan menjadi tenang." Bu Nur, perempuan berusia 54 tahun itu membelai rambut Hafsha dengan sayang.

Hati perempuan paruh baya itu pedih melihat sudut-sudut mata anak gadisnya kembali meneteskan air mata. Ia bisa merasakan perih yang kini sedang menghujam dada anak bungsunya itu.

"Kamu nggak kasihan sama Ayah? Ayah tidak mau makan kalau kamu tidak makan." Bu Nur mengusap pipi Hafsya yang telah basah oleh air mata. Terlihat gadis itu mengerjabkan matanya.

"Maafkan Hafsha, Bu." Untuk kesekian kali gadis dengan alis mata indah itu kembali terisak.

"Sayang, kenapa minta maaf?" Bu Nur akhirnya tidak dapat juga menahan air matanya.

"Hafsha sudah mengecewakan Ibu dan Ayah."

"Tidak, Nak. Kamu tetap kebanggaan kami."

"Tapi, kalau orang-orang kampung nanti bertanya tentang Hafsha, bagaimana?"

"Kenapa harus memikirkan orang lain, Nak? Selama kita tidak berbuat salah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ibu yang akan menghadapi semua orang nanti."

Hafsha bangun dan menubruk ibunya.

"Makasih, Bu."

Mereka berdua bertangisan. Setelah beberapa saat saling melepaskan perasaan, Bu Nur pun mengajak Hafsha ke luar kamar. Gadis itu menurut. Sang ayah telah menunggu di atas tikar untuk makan malam bersama. Mereka bertiga akhirnya makan dengan suasana yang hening. Hafsha terlihat sangat susah menelan nasi dan lauk yang diambilkan oleh ibunya. Ayahnya berulang kali melirik dan memperhatikan wajah pucat Hafsha. Ada emosi, amarah, dan luka yang teramat dalam memenuhi rongga dada laki-laki yang sehari-harinya bekerja sebagai petani itu. Dadanya sesak sekali menyaksikan anak gadisnya terluka seperti itu. Sementara ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Selesai makan, Hafsha langsung pamit masuk ke kamar. Untuk pertama kali sejak ia balig, ia tidak membantu sang ibu membereskan tempat makan mereka. Namun, ibunya mengerti dan membiarkan anaknya untuk kembali ke kamar. Hafsha tentu butuh waktu untuk sendiri.

****NY****

Hafsha baru saja melipat mukena ketika mendengar jeritan keras sang ibu dari kamar belakang. Gadis itu melemparkan begitu saja mukenanya ke lantai dan berlari ke luar kamar menuju kamar ayah dan ibunya. Tanpa mengetuk, Hafsha membuka pintu kamar dan mendapati ibunya sedang menangis terisak di samping sajadah sang ayah.

"Ibu, ada apa?" Hafsha mendekat dengan kaki gemetar. Entah mengapa hatinya sudah merasa tidak enak.

"Ayahmu, Nak." Perempuan paruh baya itu menjawab tidak jelas seraya memeluk tubuh sang ayah yang sudah tergolek di atas sajadah. Hafsha berlutut di samping keduanya.

"Ayah kenapa, Bu?" Hafsha meraba dada ayahnya. Tidak terasa apa-apa. Sementara tangisan ibunya sudah memenuhi seluruh ruangan kamar. Hafsha pun mulai terisak.

"Ayah!" Gadis itu mengguncang bahunya dengan cukup kuat. Tidak ada jawaban. Kini Hafsha pun tak dapat lagi menahan tangisnya. Berbagai pikiran buruk telah memenuhi otaknya.

"Bu, kita bawa Ayah ke rumah sakit, ya?" Hafsha masih bisa berpikir meski sebenarnya pikirannya sudah berkecamuk oleh berbagai perasaan. Namun, melihat ibunya yang sudah tidak bisa diajak komunikasi, Hafsha menguatkan diri. Gadis itu bangkit dan kembali ke kamarnya untuk mengambil mukena. Seletelah mengenakan mukena, Hafsha ke luar dan berlari menuju rumah Pak Wali.

DITALAK TANPA ALASAN  (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang