Arvan berdiri di samping pintu mobil tepat di depan pagar rumah Hafsha. Berkemeja abu-abu muda dan celana jeans blue back, penampilan Arvan terlihat begitu mempesona. Meski malam tadi Arvan hanya tidur beberapa jam saja, tapi pagi ini ia sudah terlihat segar dan bersemangat.
Arvan melirik arlojinya, pukul 06.30. Harusnya Rayyan sudah berangkat ke sekolah. Tepat ketika Arvan mengalihkan pandangan ke pintu rumah Hafsha, pintu itupun terbuka. Hafsha keluar menggandeng tangan Rayyan. Bocah laki-laki itu telah memakai seragam lengkap.
"Papa!" Rayyan langsung berteriak senang begitu melihat kehadiran Arvan. Senyum Arvan merekah melihat wajah riang anaknya.
Arvan langsung mendekat begitu Hafsha membuka pintu pagar. Rayyan sudah berlari ke arah Arvan. Rayyan mengembangkan tangannya dan sedetik kemudian anak laki-laki itu telah berada dalam pelukan Arvan.
"Nggak nakal 'kan tadi malam?" Arvan menciumi Rayyan dengan penuh kerinduan.
"Nggak dong, Pa. Tanya aja Bunda Hafsha." Rayyan menunjuk pada Hafsha.
"Syukurlah. Anak pintar." Arvan menurunkan Rayyan kembali. Rayyan mendekati Hafsha dan mengulurkan tangannya. Hafsha menerima uluran tangan Rayyan seraya mengusap kepala bocah laki-laki itu. Setelah itu, Rayyan langsung masuk ke dalam mobil.
"Aqila sudah sadar tadi malam." Arvan berkata seraya mengusap rambut Rayyan.
"Alhamdulillah, syukurlah."
"Begitu sadar, nama pertama yang dipanggilnya adalah kamu." Arvan menatap Hafsha lekat. Hafsha terpana. 'Aqila memanggil namanya?'
"Aku berjanji pada Aqila jika hari ini Bunda Hafshanya akan datang menemuinya."
Hafsha memalingkan wajahnya menghindari tatapan Arvan. Entah apa rencana Tuhan kepadanya, sehingga ia menjadi masuk dalam kehidupan laki-laki di depannya ini.
"InsyaAllah pulang sekolah nanti saya bezuk Aqila ke rumah sakit." Hafsha akhirnya bersuara.
"Terima kasih. Maaf jika selalu merepotkanmu." Arvan berkata dengan tulus.
"Tidak apa, jika anak-anak muridnya sakit, guru memang berkewajiban untuk menengok."
"Apa nanti bisa titip Rayyan sekalian?"
"Saya cuma naik motor, Pak." Hafsha berkata dengan sedikit sinis. Perempuan itu kembali ingat dnegan kejadian beberapa bulan lalu, pada awal-awal ia mengajar di SDIT Mutiara.
"Tidak apa. Saya percaya pada Bunda Hafsha." Arvan tersenyum.
"Baiklah, saya harus segera berangkat." Hafsha berkata dengan datar.
"Terima kasih sudah menjaga Rayyan." Arvan berbalik. Namun, sebelum ia masuk ke dalam mobil, matanya menangkap sosok Ibu Hafsha yang ke luar dari dalam rumah. Arvan kembali berbalik. Dengan santai, laki-laki itu masuk ke halaman dan sampai di depan Bu Nur.
"Saya pamit, Bu." Arvan mengulurkan tangan.
"Tidak masuk dulu, Nak?" Bu Nur menerima uluran tangan Arvan.
"Tidak usah, Bu. Rayyan sudah harus berangkat ke sekolah."
"Nanti malam kalau Rayyan mau tidur di sini lagi, antarkan aja ke sini. Rumah jadi ramai ada Rayyan." Bu Nur berkata seraya tersenyum tulus.
"Terima kasih, Bu. Kalau Hafsha masih mengizinkan, Bu." Arvan berkata seraya melirik Hafsha yang sedang mengeluarkan motor dari arah samping.
"Lha, Rayyan nggak ganggu kok. Anaknya nurut."
"Alhamdulillah, kalau gitu nanti saya titip lagi, Bu."
"Ya, Ibu tunggu."
"Saya pamit, Bu." Arvan mengangguk sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
Fiction généraleTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?