Kedatangan Bu Nur ke Pekanbaru sebenarnya tidak hanya untuk menghadiri acara lamaran Inas. Tetapi, untuk sementara, perempuan paruh baya itu memang akan tinggal di Pekanbaru dengan Hafsha. Karena ketiga anaknya selalu mendesak agar ia tinggal dengan salah satu dari mereka. Akmal, Latif dan Hafsha merasa tidak tenang meninggalkan Bu Nur tinggal seorang diri di kampung.
Karena itu, jauh-jauh hari, Hafsha telah mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal ia dan ibunya. Hafsha sudah menyampaikan niatnya kepada Pak Etek Zainuddin dan Etek Ely. Pak Etek Zainuddin tentu saja menolak keinginan Hafsha. Tetapi, Hafsha merasa tidak elok jika harus menumpang berdua dengan ibunya di rumah adik ayahnya itu. Sehingga esok harinya, Hafsha langsung membawa ibunya pindah ke rumah kontrakannya di Jalan Kartama.
Sementara di rumah sakit, di ruangan Aqila sedang berkumpul Bude Ratih, Pak De Ali, Ganang, Rayyan dan Arvan. Besok Aqila akan menjalani operasi pengangkatan tumor. Arvan telah memutuskan untuk mengikuti semua proses pengobatan yang disarankan oleh dokter.
"Pa, sebelum besok Aqila dioperasi, Aqila ingin bertemu dengan Bunda Hafsha, sekali saja." Aqila memeluk Arvan dengan erat. Mereka berdua duduk bersandar di kepala ranjang. Arvan menarik napas berat. Bude Ratih dan Pak De Ali menatap Arvan menunggu jawaban laki-laki yang terlihat semakin tidak terurus itu.
"Ya, Nak. Papa akan menemui Bunda Hafsha lagi nanti sore, ya. Semoga Bunda sudah bisa datang." Arvan menjawab dengan susah payah.
"Pergilah sekarang, mumpung hari Minggu, Bunda Hafsha tentu ada di rumah. Biar Bude dan Pak De yang menjaga Aqila. Ada Ganang juga yang bisa menemani Rayyan bermain." Bude Ratih berkata dengan lembut, namun, tegas.
"Baiklah, Papa akan lakukan apapun yang kamu minta, Sayang." Arvan mencium puncak kepala Aqila sebelum beranjak dari ranjang.
"Terima kasih, Pa." Aqila berucap dengan mata berbinar.
Arvan mengajak Rayyan untuk ikut, Arvan langsung berlari meninggalkan Galang begitu mendengar papanya akan ke rumah Bunda Hafsha. Mereka berdua meninggalkan rumah sakit menuju rumah Hafsha.
Sampai di rumah Hafsha, seorang gadis keluar menjumpai Arvan. Arvan ingat, gadis remaja ini yang pernah ditemui Arvan di Gramedia ketika ia bertemu dengan Hafsha di toko buku tersebut.
"Uni Hafsha sudah pindah tadi pagi, Pak." Gadis yang bernama Zahra itu berucap dengan sopan.
"Pindah? Boleh saya tahu alamat rumah Bunda Hafsha yang baru?" Arvan menatap Zahra dengan penuh harap.
"Kartama Indah, Blok D nomor 17, di jalan Kartama, Pak."
"Baik, terima kasih, ya, Dek." Arvan berusaha menghapal alamat yang diberikan oleh gadis di depannya itu.
"Ya, Pak." Zahra mengangguk.
Arvan dan Rayyan meninggalkan rumah besar yang megah itu dengan langkah gontai. Setelah berada di belakang kemudi, Arvan segera mengaktifkan google map di ponselnya. Hampir setengah jam dengan bantuan aplikasi penunjuk jalan itu, akhirnya Arvan bisa menemukan rumah kontrakan Hafsha. Sebuah rumah tipe 45 yang sangat sederhana. Tetapi terlihat bersih dan asri.
Dengan menggandeng tangan Rayyan, Arvan membuka pagar dan masuk ke halaman yang tidak terlalu luas itu. Arvan mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tidak berapa lama, pintu di depan Arvan terbuka. Seorang wanita paruh baya berdiri di hadapan Arvan.
"Waalaikummusalam. Mencari siapa, Nak?" Wanita yang tidak lain ibu Hafsha itu bertanya dengan ramah.
"Hafsha ada, Bu?" Hafsha bertanya dengan sopan.
"Ada, silakan masuk." Bu Nur melebarkan daun pintu. Arvan membuka sepatunya diikuti oleh Rayyan. Mereka berdua lalu masuk. Ruang tamu yang hanya berukuran 3 x 3 meter itu terlihat bersih dan rapi. Sebuah karpet berwarna coklat dengan motif abstrak terbentang memenuhi hampir seluruh lantai. Dan sebuah meja bundar berada di tengah-tengahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?