Hafsha memasuki rumah besar dengan cat berwarna putih itu dengan dada berdebar. Dua orang asisten rumah tangga menyambut kedatangan mereka.
"Kita langsung ke kamar Aqila di lantai dua, ya, Bunda." Bude Ratih menyentuh pundak Hafsha yang terlihat begitu canggung berada di dalam rumah besar milik adiknya itu.
"Baik, Bude." Hafsha mengangguk seraya tersenyum. Senyum yang dipaksakan.
"Mbak Asih, minum buat Bunda Hafsha diantar ke kamar Aqila aja, ya." Bude Ratih berpesan pada Mbak Asih.
"Aku mau susu coklat panas, ya, Mbak." Aryan ikut memesan minuman.
"Baik, Bude, Den Aryan." Mbak Asih dan Bi Yum bergegas menuju dapur.
Hafsha mengikuti langkah Bude Ratih dan Aryan yang menaiki tangga menuju lantai dua. Sampai di lantai dua, Bude menuju kamar yang berada di sebelah kanan tangga. Wanita itu membuka pintu di depannya. Pintu terbuka lebar. Hafsha yang berada di belakang Bude Ratih langsung menemukan sosok Aqila yang sedang terbaring di atas ranjang. Laki-laki yang amat ditakuti oleh Hafsha itu sedang duduk di atas kasur. Sepertinya ia sedang mengompres Aqila.
"Mari, Bunda." Bude Ratih mengangguk ramah pada Hafsha. Hafsha melangkah masuk dengan kaki yang terasa gemetar.
Menyadari kehadiran Bude Ratih dan Hafsha, laki-laki yang terlihat amat kusut itu pun bangkit dan memberi tempat pada keduanya. Sementara Aryan telah naik ke kasur dan mencium kakaknya dengan sayang.
"Aqila." Hafsha duduk di samping Aqila dan mengusap kening gadis kecil itu dengan sayang. Hafsha merasakan hawa panas pindah ke telapak tangannya. Mata perempuan berseragam batik itu terasa panas.
"Aqila, ini Bunda Hafsha." Hasfha meraih tangan Aqila dan menggenggamnya erat. Bibir Aqila terlihat bergerak. Matanya juga terbuka beberapa detik.
"Bunda, maaf ..." Tiba-tiba bibir yang terlihat merah dan kering itu bersuara.
"Aqila tidak punya salah apa-apa sama Bunda, Nak." Hafsha sudah tidak dapat lagi menahan air matanya.
"Bunda, kehujanan. Bunda jadi sakit." Mata Aqila sudah terbuka sempurna. Sudut-sudut mata gadis itu terlihat basah. Hafsha terisak, ternyata gadis kecil itu memikirkan dia yang kehujanan dan sakit beberapa hari lalu. Ya, Tuhan, hati Hafsha benar-benar meleleh.
Arvan yang berdiri tidak jauh dari tempat tidur anaknya membeku. Laki-laki itu tidak tahu harus berkata apa menyaksikan kedekatan antara anaknya dengan sang guru.
"Tetapi, Bunda sekarang sudah sehat, Nak. Aqila lihat kan? Karena itu, Aqila juga harus sehat. Aqila harus ke dokter, Nak. Biar segera sembuh dan bisa sekolah lagi." Hafsha memeluk Aqila dan mengusap kepala Aqila dengan lembut.
"Aqila mau asal Bunda ikut menemani." Aqila berkata dengan suara lemah. Hafsha terdiam. Kembali ia harus dihadapkan pada situasi yang sulit.
"Aqila pergi dengan Bude dan Papa aja, ya?" Bude Ratih mencoba membujuk Aqila.
"Aqila maunya sama Bunda Hafsha." Aqila mulai menangis. Bude Ratih menoleh dan menatap Hafsha dengan bingung. Hafsha menarik napas panjang.
"Baiklah, Bunda akan ikut ke dokter. Tetapi, Aqila janji ya, harus segera sembuh." Hafsha menggenggam jemari tangan Aqila dengan erat.
"Ya, Bunda, Aqila janji." Gadis kecil yang terlihat amat pucat itu tersenyum senang.
"Aryan ikut, ya." Aryan menatap Bude Ratih dan Bunda Hafsha bergantian.
"Iya. Tapi, Aryan mandi dan ganti baju dulu." Bude memberikan intruksi pada Aryan.
"Siap, Bude." Aryan langsung bergegas turun dari kamar mandi dan melesat ke luar kamar menuju kamarnya. Sementara Arvan menarik napas lega. Akhirnya Aqila mau juga ke dokter. Sejak kejadian membezuk Hafsha dua hari lalu, kedua anaknya itu seperti menjaga jarak dengannya. Arvan tahu, keduanya marah karena ia telah memperlakukan guru mereka dengan kurang baik. Arvan pun ke luar kamar menuju kamarnya untuk mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?