Melewati Padang – Payakumbuh dengan sebuah travel, mata Hafsha kembali berembun. Lubuak Aluang, Sicincin, Padang Panjang, Bukittinggi, semua memiliki kenangan yang indah. Dan sepanjang jalan yang dilewati mengingatkannya pada Adam. Selama dua tahun menikah, Hafsha dan Adam memang pulang ke Payakumbuh hampir setiap bulan.
Hafsha menghapus air matanya dengan ujung jilbab. Ia berjanji, begitu sampai di Paykumbuh, ia akan mencoba melupakan semua hal tentang laki-laki itu. Hafsha ingin, hari inilah terakhir kali ia menangisi laki-laki yang telah menoreh luka teramat dalam di hatinya itu.
Memasuki kampungnya, Kecamatan Guguak, Hafsha memandang ke luar jendela mobil. Sawah, ladang-ladang jagung, rumah-rumah penduduk, semua menjadi perpaduan alam yang begitu indah. Hafsha selalu menyukai kampungnya yang asri. Udara yang sejuk, langit yang biru, dan masyarakatnya yang ramah. Tetapi, andai ibunya mengizinkan, ia ingin sekali pergi merantau meninggalkan kampung halamannya. Mungkin dengan meninggalkan ranah Minang, ia akan lebih mudah untuk melupakan Adam.
****NY****
Hafsha menyeret kopernya menuju rumah. Di halaman rumahnya yang cukup luas terparkir sebuah mobil dengan plat BM. Hafsha bergegas masuk ke dalam rumah. Begitu mengucapkan salam, semua yang berada di dalam rumah, langsung berdiri menyambut kedatangan Hafsha.
Hafsha terpaku menatap laki-laki yang telah berdiri di depannya. Laki-laki yang begitu mirip dengan sang ayah.
"Pak Etek." Suara Hafsha terdengar parau. Laki-laki yang dipanggil Pak Etek itu langsung memeluk Hafsha dan mengusap kepala gadis itu dengan sayang. Mata laki-laki berusia 53 tahun itu pun berembun.
"Maafkan Pak Etek baru datang. Ketika ayah pergi, Pak Etek sedang umrah bersama beberapa pengurus yayasan."
"Iya, Pak Etek, tidak apa." Hafsha mengangguk dengan mata basah.
Setelah Pak Etek Zainuddin melepaskan pelukan, Etek Ely, istri Pak Etek Zainuddin, gantian memeluk Hafsha.
"Sabar, ya, Nak." Etek Ely mencium pipi Hafsha berulang kali. Hafsha mengangguk dengan mata basah oleh air mata.
"Makasih, Tek." Hafsha mencoba tersenyum.
Lalu satu persatu anak-anak Pak Etek Zainuddin menyalami dan memeluk Hafsha. Ada Inas, Nayla dan Zahra.
Setelah semua menyalami Hafsha, mereka kembali duduk di ruang tamu sederhana itu.
"Hafsha, Nurma sudah bercerita tentang masalah yang kamu hadapi. Pak Etek turut prihatin. Semoga kamu kuat menghadapi ujian berat ini." Pak Etek Zainuddin menatap Hafsha dengan lembut.
"Makasih, Pak Etek. InsyaAllah Hafsha bisa melewati semua ini." Hafsha tersenyum dengan bekas air mata yang masih terlihat di pipinya.
"Syukurlah, Nak. Itu yang Pak Etek harapkan. Tadi Pak Etek sudah bicara dengan ibumu, bagaimana kalau kamu ikut dengan Pak Etek ke Pekanbaru? Ibumu juga boleh ikut sekalian. Pak Etek tidak tenang meninggalkan kalian berdua di sini dalam keadaan seperti ini."
Hafsha menatap adik ayahnya itu dengan mata membulat. Baru beberapa menit lalu ia ingin pergi merantau meninggalkan kampungnya ini. Dan sekarang tiba-tiba ada tawaran yang begitu manisnya dari Pak Etek Zainuddin. Tuhan memang begitu sayang kepadanya. Hafsha memandang pada ibunya dengan sedikit ragu. Apakah ibunya akan mengizinkan ia pergi? Atau andai bisa, Hafsha memang ingin ibunya ikut sekalian dengannya.
"Kamu bisa mengajar di sekolah Pak Etek nanti. Ibumu tadi sudah setuju." Pak Etek mengangguk meyakinkan Hafsha.
"Benar, Bu? Ibu mengizinkan Hafsha ke Pekanbaru?" Hafsha tidak dapat menyembunyikan perasaan senangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
Fiksi UmumTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?