Operasi Berhasil

2.2K 243 23
                                    

Pukul 16.20, pintu kamar operasi terbuka. Hafsha, Arvan, Bude Ratih berdiri serentak. Dua orang perawat mendorong bed ke luar dari dalam ruangan. Mereka bertiga langsung mendekat. Di atas ranjang besi itu terlihat Aqila sedang terbaring dengan mata terpejam. Berbagai macam selang menempel di tubuh kecilnya. Mata Hafsha terasa panas. Begitu juga dengan Arvan dan Bude Ratih. Aqila terlihat begitu menyedihkan. Gadis kecil yang biasanya selalu ceria itu berbaring tidak berdaya.

"Anak Aqila harus segera dibawa ke ruangan ICU, ya, Pak, Bu." Suster Fely memberikan informasi. Hafsha, Arvan dan Bude Ratih mengikuti langkah suster tersebut menyuju ruang ICU. Tetapi, sampai di depan ruangan tersebut, kedua perawat itu menahan langkah mereka bertiga.

"Untuk saat ini Aqila belum bisa dikunjungi, ya, Pak, Bu. InsyaAllah mulai besok Bapak dan Ibu sudah bisa masuk bergantian pada jam-jam bezuk." Suster Fely kembali memberikan informasi. Hafsha, Arvan dan Bude Ratih hanya bisa mengangguk. Mereka bertiga lalu menuju ruang tunggu ICU.

Baru saja duduk di bangku berwarna merah itu, seorang perawat datang memanggil Arvan. Dokter Lutfi ingin bertemu. Arvan mengikuti langkah si perawat menuju ruangan dokter Lutfi. Dokter Lutfi menerangkan jika operasi Aqila berjalan dengan lancar dan sukses. Untuk beberapa hari Aqila harus dirawat di ruang ICU sampai kondisinya stabil.

Arvan mengucapkan Alhamdulillah berulang kali. Laki-laki itu juga mengucapkan terima kasih tidak terhingga kepada dokter Lutfi.

Arvan kembali ke ruang tunggu ICU. Untuk beberapa hari ke depan ia akan tidur di ruang tunggu ini. Sampai Aqila dipindahkan ke ruang perawatan. Sampai di ruang tunggu ternyata sudah ada Rayyan dan Ganang. Bude Ratih tadi memang menitipkan Rayyan pada Ganang. Anak kecil itu sudah bergelayut manja pada Hafsha. Padahal Hafsha sudah bersiap-siap untuk pulang.

"Rayyan, malam ini Rayyan tidur di rumah Bude Ratih, ya? Karena malam ini, Papa tidurnya di sini. Di ruangan terbuka ini." Arvan menggapai tangan Rayyan. Rayyan menggeleng.

"Rayyan mau tidur dengan Bunda Hafsha saja." Rayyan mengeratkan pelukannya pada Hafsha. Semua terpaku mendengar ucapan Rayyan. Arvan menarik napas dalam.

"Sayang, Bunda Hafsha capek seharian di rumah sakit menunggui Kak Aqila. Kasihan kalau Rayyan ikut lagi dengan Bunda Hafhsa. Nanti Bunda Hafsha nggak bisa istirahat." Arvan mencoba membujuk anaknya.

"Rayyan sudah besar, Pa. Sudah bisa mandi sendiri, makan sendiri, bobok juga bisa sendiri." Rayyan berkata dengan lagak sok besarnya.

Arvan menatap Hafsha dengan bingung. Laki-laki itu kehabisan kata-kata untuk membujuk Rayyan.

"Nggak apa-apa, Bunda Hafsha. Ditinggal aja." Akhirnya Arvan berkata dengan terpaksa seraya menarik tangan Rayyan. Tetapi, Rayyan menahan tangannya.

"Nggak mau, Rayyan mau ikut Bunda Hafsha aja. Besok Rayyan berangkat dengan Bunda Hafsha ke sekolah." Rayyan memegang tangan Hafsha kuat-kuat. Suaranya sudah bercampur tangisan. Hafsha juga merasa bingung.

Bude Ratih mendekat dan ikut membujuk Rayyan. Begitu juga dengan Ganang. Remaja berusia 16 tahun itu mencoba mengiming-imingi Rayyan dengan permainan game yang ada di ponselnya. Tetapi, Rayyan tetap tidak goyah. Arvan merasa putus asa melihat keteguhan hati anaknya. Semakin dibujuk, semakin erat Rayyan memeluk tangan Hafsha.

"Ya, sudah Bude, biar Rayyan ikut saya aja." Akhirnya Hafsha bersuara. Sungguh ia tidak tega melihat bocah laki-laki itu menatapnya penuh harap. Dengan mata yang sudah basah. Apalagi di ruang tunggu ICU ini cukup banyak orang yang sedang menunggu keluarganya. Hafsha tidak ingin mereka terganggu karena kerewelan Rayyan. Arvan dan Bude Ratih menarik napas lega. Meski sebenarnya mereka sangat sungkan pada Hafsha.

"Yee, aku ikut Bunda Hafsha!" Rayyan langsung berteriak dengan girang.

"Makasih, Bunda. Nanti Bude antar pakaian ganti dan pakaian sekolah Rayyan." Bude Ratih melepaskan tangannya dari Rayyan.

DITALAK TANPA ALASAN  (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang