"Maaf, Pak. Saya ketiduran." Hafsha merapikan jilbabnya dengan kikuk.
"Tidak apa. Saya yang seharusnya minta maaf, selalu merepotkan Bu Guru." Arvan berkata seraya tersenyum. Hafsha terpana. Apakah ia tidak salah dengar? Apakah matanya tidak salah melihat? Mengapa sosok di depannya ini berubah menjadi laki-laki yang jauh berbeda dari yang sebelumnya?
"Saya pamit, Pak. Tadi Aryan bilang pusing, makanya saya temani dia dulu sampai tertidur." Hafsha berjalan menuju meja belajar dan mengambil tasnya.
"Sudah azan magrib. Sholatlah dulu, setelah itu baru pulang."
Untuk kedua kalinya Hafsha kembali terpana.
"Ya, Pak. Terima kasih. Saya akan numpang sholat di bawah, di kamar Bi Yum." Hafsha mengangguk sopan dan berjalan ke luar kamar.
"Di lantai dua ada ruang sholat. Bangunkan dulu anak-anak. Biar sama-sama sholat di sana." Arvan berkata seraya berjalan menuju tempat tidur. Hafsha berdiri dengan perasaan bingung.
Arvan menciumi kedua anaknya dan setelah itu menepuk-nepuk lembut kedua pipi anak-anaknya. Tidak butuh waktu lama, keduanya pun terbangun dan langsung bersorak melihat kehadiran sosok sang papa.
"Ayo bangun, temani Bu Guru kalian sholat magrib di mushalla." Arvan mengulurkan tangan pada Aqila dan Aryan. Mendengar kata Bu Guru, keduanya langsung bangun dengan penuh semangat.
"Bunda belum pulang." Aqila telah berdiri di samping Hafsha dengan perasaan gembira.
"Belum, Sayang. Bunda ketiduran tadi." Hafsha menjawab dengan perasaan malu.
"Bunda pasti kelelahan karena tadi angkat-angkat meja dan kursi di sekolah." Aqila berkata dengan nada prihatin.
"Angkat-angkat meja?" Arvan yang sudah berdiri menggendong Aryan bertanya dengan heran. Laki-laki itu menoleh pada Hafsha sekilas.
"Iya, Pa. Tadi kan ada acara pentas seni dan market day, jadi Bunda mengangkat meja dan kursi yang habis dipakai untuk acara itu." Aqila menerangkan dengan senang hati.
"Oh." Arvan hanya menjawab dengan ber-oh saja.
"Papa, Aryan tunggu tadi di sekolah, tapi Papa nggak datang-datang." Aryan berkata dengan mimik kecewa.
"Iya, Sayang, maaf. Papa tadi harus ke Bangkinang. Ada urusan yang harus Papa selesaikan di sana. Tetapi, ada Bunda Hafsha kan yang menemani kalian?" Aryan berkata seraya meilirik sekilas pada Hafsha. Hafsha terpana. Untuk pertama kalinya laki-laki itu menyebut namanya dengan baik.
"Ayo, Aqila. Temani Bunda sholat. Bunda harus segera pulang." Hafsha menarik tangan Aqila ke luar kamar. Aqila menurut. Diikuti oleh Arvan dan Aryan, mereka berempat ke luar dari kamar menuju ruang sholat.
Aqila membawa Hafsha berwudu di samping ruang sholat. Ruang wudu itu berukuran 3 x 4 meter. Atapnya terbuka. Sebuah bangku kayu terlihat di bagian kanan ruangan bercat warna putih itu. Beberapa tanaman menghiasi sepanjang dinding kiri dan kanannya. Semua terlihat begitu indah dan asri. Untuk beberapa saat, Hafsha mengagumi apa yang ada di depan matanya.
Selesai berwudu, Aqila dan Hafsha kembali ke ruang sholat. Arvan dan Aryan telah menunggu di sana. Sepertinya mereka berdua berwudu di tempat lain.
"Papa jadi imam, ya?" Aryan berbisik pada Arvan.
"Jangan, Papa malu sama Bunda Hafhsa. Surat yang Papa hapal cuma Al-Iklas dan Al-Asry." Arvan menjawab dengan berbisik juga pada Aryan. Meski samar, namun, Hafsha cukup bisa mendengar apa yang ayah dan anak itu percakapkan. Mau tidak mau, Hafsha tersenyum juga mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
Ficción GeneralTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?