Hafsha berdiri terpaku di pintu rumah kontrakannya dengan Adam. Bu Ida pemilik rumah kontrakan itu memberikan kunci pada Hafsha. Kata Bu Ida Adam menitipkannya dua minggu lalu.
Gadis itu masuk dengan mata berkabut. Langkahnya sampai di kamar. Didorongnya pintu papan itu dengan dada bergemuruh. Dan kamar itu juga kosong, tidak berisi apa-apa. Tubuh Hafsha luruh ke lantai. Air matanya berderai membasahi pipi.
Kamar ini menjadi saksi bisu kisah cinta mereka yang suci. Kamar ini menjadi tempat mereka berbagi cerita, mengurai gelak tawa, dan terkadang juga menangis bersama. Begitu banyak kenangan indah dan manis di sini. Hafsha terisak. Rasanya masih sulit untuk diterima hati dan pikirannya, jika semuanya benar-benar telah berakhir. Tanpa pesan, tanpa kata-kata perpisahan dan tanpa penjelasan apa-apa.
Ya, Tuhan, Hafsha menekan dadanya kuat-kuat. Kenapa sesakit ini rasanya? Di saat ia sedang sayang-sayangnya, di saat cinta sedang tumbuh dengan subur, laki-laki itu mencampakkannya begitu saja.
Entah berapa lama Hafsha menangis di lantai yang dingin itu. Dengan jilbab yang telah basah, gadis itu menghapus air matanya. Lalu ia bangkit dengan kaki gemetar. Ia melangkah meninggalkan kamar menuju ruang tamu. Sebelum ke luar dari rumah yang telah ditempatinya selama dua tahun itu, Hafsha kembali mengedarkan pandangannya memperhatikan setiap sudut rumah yang hanya berukuran 4 x 8 meter itu. Pandangan mata Hafsha kembali mengabur.
Setelah mengunci pintu rumah kontrakan, Hafsha berjalan gontai menuju rumah Ibu Ida. Bu Ida menyambutnya dengan tatapan kasihan. Meski tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi melihat kondisi Hafsha yang begitu hancurnya, Bu Ida sedikit banyaknya bisa membaca keadaan.
"Masuk dulu, Nak Hafsha." Bu Aida menuntun Hafsha masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Hafsha menurut.
"Apa Bang Adam ada mengatakan sesuatu, Bu?" Suara Hafsha terdengar parau. Bu Ida menelan ludahnya.
"Tidak ada, Nak Hafsha. Nak Adam Cuma menitipkan koper Nak Hafsha di sini dan memberikan kunci rumah." Bu Ida menunjuk koper berwarna coklat yang terletak di samping pintu
"Oh, iya, Bu. Terima kasih. Kalau gitu, Hafsha pamit, Bu." Hafsha pamit dan menyerahkan kunci rumah kontrakannya pada Bu Ida.
"Mengapa buru-buru, Nak? Istirahatlah dulu di sini. Kamu terlihat begitu lemah. Ibu khawatir terjadi apa-apa nanti di jalan." Bu Ida mencoba menahan Hafsha. Namun Hafsha menggeleng dengan air mata yang kembali mengenang.
"InsyaAllah Hafsha baik-baik saja, Bu. Hafsha mau ke rumah Uda Akmal dan besok Hafsha sudah langsung balik ke Payakumbuh." Hafsha menyalami Bu Ida dan mencium tangan perempuan paruh baya itu dengan lembut. Bu Ida mengusap pundak Hafsha. Mata Bu ida terlihat juga basah. Hatinya terenyuh melihat kondisi Hafsha.
Hafsha mengambil kopernya dan mendorongnya ke teras.
"Bu, terima kasih atas semuanya. Mohon maaf jika selama dua tahun Hafsha tinggal di rumah Ibu, Hafsha ada melakukan kesalahan."
"InsyaAllah tidak ada, Nak. Hafsha anak yang baik." Bu Ida tersenyum lembut. Kali ini air mata juga membasahi pipi perempuan berhijab lebar itu.
"Ya, Bu. Hafsha pamit, Bu." Hafsha mengangguk sopan dan mulai mendorong kopernya ke luar dari halaman rumah Bu Ida menuju jalan raya yang berjarak beberapa puluh meter. Bu Ida terisak menatap kepergian Hafsha. Entah apa yang telah terjadi, perempuan yang masih terlihat cantik itu juga tidak mengerti.
****NY****
Setelah menitipkan kopernya di rumah kos salah seorang teman kuliahnya, Hafsha menguatkan hati untuk mendatangi rumah orang tua angkat Adam di Tunggul Hitam. Rumah besar dengan pekarangan luas itu terlihat sepi. Hafsha mendorong pagar yang tidak terkunci. Lalu dengan dada berdebar perempuan itu mengetuk pintu jadi di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?