Aryan sedang berlarian dengan beberapa teman-temannya ketika Aqila memanggil namanya. Aryan langsung berhenti dan mendekati Aqila.
"Apa, Kak?" Aryan mengusap keringat di kening dan lehernya.
"Papa sudah jemput." Aqila mengulurkan tas Aryan.
"Tumben cepat, Kak." Aryan menerima tasnya dari tangan Aqila.
"Ucapkan Alhamdulillah." Aqila berkata dengan lembut.
"Alhamdulillah." Aryan memperlihatkan gigi putihnya pada sang kakak.
Mereka lalu bergegas menyalami Hafsha dan Bunda Ica begitu melihat mobil papanya memasuki halaman parkir sekolah. Hafsha mengusap kepala Aqila dan Aryan dengan sayang. Kedua kakak beradik itu setengah berlari menuju mobil sang papa. Hafsha memperhatikan dengan bahagia. Pastilah kedua anak didiknya itu senang sekali karena dijemput tepat waktu.
Pintu mobil terbuka. Seorang perempuan cantik turun dari dalam mobil. Langkah Aqila dan Aryan mendadak terhenti. Keduanya terpaku menatap perempuan cantik yang berdiri tidak jauh dari hadapan mereka. Dari jarak beberapa meter, Hafsha juga memperhatikan semua itu. Wanita itu wanita yang pernah dilihatnya di restoran beberapa hari yang lalu.
"Kenapa, Sayang?" Arvan telah berdiri di samping Rena."Siapa, Pa?" Aqila bertanya tanpa senyum.
"Tante Rena. Ayo, Salim." Arvan mengacak puncak kepala Aqila dan Aryan bergantian.
"Pa, masuk ke sini tu harus pakai jilbab. Papa nggak lihat tulisan di pintu gerbang itu?" Aqila berkata ketus dan langsung masuk ke mobil. Diikuti oleh Aryan. Rena dan Arvan terpana. Dada Rena langsung bergemuruh. Pertemuan pertama yang sangat tidak mengenakkan. Perempuan itu tersenyum sumbang.
"Maaf." Arvan berucap dengan perasaan tidak enak.
"Its oke." Rena mengedikkan bahunya dengan santai. Meski ia sangat merasa tersinggung dengan sikap anak-anak Arvan yang sama sekali tidak menunjukkan sikap santun kepadanya.
"Ayo." Arvan membukakan pintu mobil untuk Rena. Perempuan itu masuk setelah menarik napas panjang. Sekuat tenaga Rena mencoba menenangkan hatinya dan menekan amarahnya. Ia harus terlihat sabar dan baik.
Sementara dari jauh, Hafsha menatap semua itu dengan hati tidak menentu. Barangkali perempuan cantik itu adalah calon ibu pengganti buat Aqila dan Aryan.
"Besok kalau ikut jemput anak-anak, bawa selendang, ya." Arvan menoleh sekilas pada Rena begitu mobil telah meninggalkan parkiran sekolah.
"Ya, Van." Rena mengangguk.
"Pa, menutup aurat itu wajib. Dan menutup aurat itu dengan jilbab yang menjulur sampai ke dada. Seperti yang dipakai oleh Bunda Hafsha. Bukan dengan selendang." Aqila berkata dengan suara agak keras. Arvan kaget mendengar ucapan anaknya yang begitu berani. Begitu juga dengan Rena. Perempuan itu sampai menahan napas mendengar ucapan anak berusia sembilan tahun itu. Arvan bisa melihat ketegangan Rena. Laki-laki itu semakin merasa tidak enak.
"Aqila, bisa nggak kamu bersikap sopan kepada Tante Rena?" Arvan menoleh kepada Aqila dan menatap anaknya itu dengan tatapan tidak suka. Aqila balas menatap Arvan. Dan gadis kecil itu merasa terluka melihat kilatan marah di mata sang papa. Aqila memalingkan wajahnya ke luar jendela. Matanya terasa panas. Aryan menjangkau tangan Aqila dan menggenggamnya dengan erat. Merasakan genggaman tangan adiknya, rasa panas di matanya pun berubah menjadi kristal-kristal bening. Dan satu satu, kristal bening itu turun membasahi pipinya. Aryan memandang kakaknya sedih. Bocah laki-laki itu akhirnya juga ikut menangis.
![](https://img.wattpad.com/cover/241940577-288-k980393.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
Aktuelle LiteraturTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?