Dari masjid Ar-Rahman, Arvan membawa anak-anaknya menuju tempat makan cepat saji. Hafsha sebenarnya sudah ingin pulang duluan, tetapi Aqila tidak mau melepaskan genggaman tangannya. Akhirnya, meski merasa canggung, Hafsha ikut masuk ke dalam restoran yang selalu ramai itu.
Tanpa bicara, Arvan membawa Aryan untuk mengantri memesan makanan. Sementara Hafsha dan Aqila mencari tempat duduk yang masih kosong. Setelah mendapatkan meja, mereka berdua duduk sambil bercerita. Aqila terlihat begitu bersemangat menceritakan tentang Aryan, Bude Ratih, sampai kucingnya yang lucu. Dan gadis itu tidak menceritakan tentang papanya sedikitpun. Sepertinya gadis kecil itu sangat paham jika Hafsha merasa tidak nyaman dengan sang papa, karena sikap jahat papanya sejak pertama kali bertemu.
Hampir lima belas menit menunggu, akhirnya Arvan dan Aryan datang membawa makanan dan minuman. Mata Aqila langsung berbinar melihat makanan kesukaannya terhidang di atas meja. Sudah tiga hari, ia tidak berselera makan apapun.
"Mau Bunda suapin?" Hafsha menawarkan diri pada Aqila.
"Benaran, Bunda?" Aqila menatap Hafsha dengan penuh semangat.
"Iya." Hafsha mengangguk.
"Aku juga mau disuapin Bunda." Aryan langsung menggeser kursinya ke dekat Hafsha. Arvan menatap tidak suka pada anak-anaknya. Arvan benar-benar merasa heran, mengapa anak-anaknya begitu menyukai perempuan di depannya ini. Tidak ada yang menarik menurut Arvan dari perempuan ini.
"Bunda cuci tangan dulu, ya." Hafsha bangkit seraya mengacak rambut Aryan dengan sayang.
"Siap, Bunda." Aqila dan Aryan menjawab serentak.
"Kenapa sih kalian nggak makan sendiri aja? Kalian kan sudah besar, masa masih ingin disuapi." Arvan menyampaikan rasa tidak sukanya kepada kedua anaknya setelah Hafsha pergi.
"Tetapi, teman-teman di sekolah yang seusia dengan kami, juga masih sering disuapi Mama dan Bundanya, Pa. Kami juga ingin seperti mereka." Aqila menjawab dengan lirih. Arvan tertegun. Ternyata ada hal-hal yang diinginkan dan dirindukan anak-anaknya yang ia tidak tahu.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama, kasihan guru kalian nanti jadi nggak bisa makan karena menyuapi kalian." Arvan berkata seraya bangkit dan berjalan menuju wastafel.
"Ya, Pa." Aqila dan Aryan kembali menjawab kompak meski sang papa telah berjalan meninggalkan meja mereka.
Hafsha datang dan kembali duduk di antara Aqila dan Aryan. Lalu setelah mengucapkan basmallah, perempuan itu mulai menyuapi Aqila dan Aryan satu persatu. Arvan yang sudah ikut bergabung juga mulai makan tanpa bicara apa-apa. Tetapi, matanya sesekali memperhatikan kedua anaknya yang terlihat begitu bersemangat. Sementara sang guru begitu sabar menyuapi keduanya.
Tiba-tiba ada yang terasa basah di sudut hati laki-laki itu. Ternyata kedua anaknya begitu merindukan sosok seorang ibu. Arvan bisa melihat, jika Aqila dan Aryan begitu menyukai perempuan di depannya ini. Keduanya terlihat begitu bahagia disuapi oleh gurunya itu.
"Bunda, kami sudah kenyang. Sekarang gantian Bunda yang makan." Aqila mengangkat tangannya ketika Hasfha masih akan menyuapinya.
"Aryan juga sudah kenyang, Bunda." Aryan seperti biasa kembali mengekori sang kakak.
"Ucapkan apa kalau sudah kenyang?" Hafsha menatap Aqila dan Aryan secara bergantian.
"Alhamdulillah." Aqila dan Aryan mengucapkan hamdalah bersamaan. Hafsha pun mengikutinya dengan perasaan senang. Melihat keduanya menghabiskan bagiannya masing-masing membuat Hafsha merasa gembira. Karena itu artinya, Aqila telah benar-benar sehat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?