Hafsha bergelung dalam selimut. Badannya menggigil sejak dini hari tadi. Kepalanya juga terasa sangat pusing. Ternyata hujan deras yang mengguyur tubuhnya sore kemarin membuat pertahanan tubuhnya ambruk. Hafsha telah meminta izin kepada kepala sekolah untuk tidak masuk hari ini.
"Uni Hafsha." Pintu kamar terbuka, sosok Inas berdiri di depan pintu.
"Ya." Hafsha menjawab lemah.
"Uni sakit? Kenapa masih di tempat tidur? Sudah pukul 06.30, Un." Inas mendekat dan menyibak selimut Hafsha. Gadis yang telah rapi dengan pakaian kerjanya itu menyentuh kening Hafsha.
"Ya, Allah, Un. Panas sekali. Uni demam. Ayo kita ke dokter." Inas duduk di pinggir tempat tidur dan membuka selimut Hafsha lebih lebar.
"Uni tidak apa-apa, Nas." Hafsha mencoba tersenyum.
"Apanya yang tidak apa-apa. Badan Uni panas sekali, tetapi Uni malah menggigil."
"Biasanya dengan tidur dan beristirahat juga sembuh, Nas."
"Jangan membantah, Un. Atau Uni mau Ayah yang menyeret Uni ke dokter?" Inas pura-pura mengancam Hafsha.
"Tidak ... tidak ... Uni akan ikut dengan kamu." Hafsha mencoba bangun dengan susah payah. Inas membantu mendudukkan Hafsha.
"Uni bisa ganti baju?"
"InsyaAllah bisa." Hafsha mengangguk lemah.
"Baiklah, Inas tunggu di luar, ya."
Hafsha hanya mengangguk dan beringsut ke pinggir tempat tidur. Perempuan muda itu turun dan menuju lemari pakaian. Diambilnya gamis berwarna abu-abu dan jilbab dengan warna yang sama. Lalu ia pun mengganti pakaiannya.
Inas telah menunggunya di depan pintu kamar. Begitu Hafsha ke luar, gadis itu langsung menggandeng tangannya dan menuntunnya menuruni tangga.
"Hafsha kenapa?" Etek Ely yang baru saja ke luar dari kamarnya menatap Hafsha dengan cemas.
"Uni demam, Bundo." Inas menjawab seraya membawa Hafsha ke ruang makan.
"Ya, Allah. Kenapa bisa? Kamu pulang pas hujan-hujan kemarin sore, ya, Nak?" Etek Ely mengikuti mereka menuju meja makan.
"Iya, tek." Hafsha menjawab lirih.
"Besok kalau hujan, motor kamu ditinggal aja dulu di sekolah. Kamu pulang naik taksi online saja." Etek Ely membantu menarik kursi untuk Hafsha.
"Iya, Tek." Hafsha kembali menjawab.
"Ya, sudah. Kamu sarapan dulu, biar kuat ke dokter." Wanita paruh baya itu duduk di samping Hafsha. Hafsha sebenarnya tidak ingin makan. Ia benar-benar tidak berselera. Tetapi, Etek Ely telah mengambilkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur, irisan timun dan tomat. Sementara Inas menuangkan segelas susu untuk Hafsha. Mba Asih juga menghidangkan buah-buahan yang telah dipotong-potong.
"Ayo makan. Dipaksain biar kamu nggak makin lemah." Etek Ely menyentuh tangan Hafsha dengan lembut. Mata Hafsha berkaca-kaca. Mendapatkan perhatian yang begitu tulus dari orang-orang di rumah ini membuat hatinya menjadi terharu.
"Iya, Tek." Lagi-lagi Hafsha menjawab dengan kata-kata yang sama.
Inas terlihat telah mulai menyendok nasi gorengnya.
"Etek tinggal dulu, ya. Etek sarapan dengan Pak Etek nanti." Wanita cantik itu bangkit dan menepuk pundak Hafsha dengan sayang. Hafsha hanya mampu mengangguk.
Setelah selesai sarapan, dan pamit pada Kedua orang tuanya, Inas pun menggamit tangan Hafsha menuju garasi. Inas membukakan pintu mobil untuk Hafsha. Tidak berapa lama mobil pun membelah Kota Pekanbaru yang sudah ramai oleh kendaraan. Inas membawa Hafsha ke klinik langganan keluarganya.
![](https://img.wattpad.com/cover/241940577-288-k980393.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?