Bude Ratih duduk di hadapan Arvan dan menatap adiknya itu dengan tatapan prihatin.
"Menikahlah. Berikan Ibu kepada kedua anakmu." Bude Ratih berkata dengan tatapan penuh permohonan kepada Arvan. Untuk beberapa saat Arvan terdiam. Sejak Nala meninggal tiga tahun lalu, ia memang belum pernah memikirkan hal ini.
"Tetapi, Aqila dan Aryan tidak pernah memintanya." Arvan berkata dengan santai.
"Karena mereka takut dengan mitos ibu tiri yang jahat."
"Akupun begitu. Aku tidak yakin akan ada wanita yang benar-benar tulus menyayangi anak tirinya." Arvan tertawa sumbang.
"Jika wanita itu seperti Bunda Hafsha, Mbak yakin, dia akan bisa menyayangi anak-anakmu dengan tulus."
"Guru sederhana itu?" Mata Arvan memandang kakaknya dengan rasa tidak percaya.
"Mbak kan hanya bilang, seperti dia. Tidak harus benar-benar dia kan? Tetapi, jika pun itu Bu Guru tersebut, ya, sangat baik. Karena anak-anak menyukainya dan dia pun menyukai anak-anak."
"Mbak, dia dan aku jauh berbeda. Aku butuh perempuan seperti Nala, yang bisa mendampingi aku di setiap kesempatan. Maksud aku yang pantas aku bawa ke mana pun juga." Arvan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Nala buat Arvan adalah perempuan sempurna. Cantik, luwes, dan pintar.
"Arvan, dulu kamu memang mencari istri yang sesuai dengan keinginan hatimu. Tetapi, sekarang tidak bisa lagi seperti itu. Sekarang kamu harus mencari istri yang sesuai dengan keinginan anak-anakmu."
"Ya, tetapi jangan yang seperti Bu Guru itu juga kali, Mbak." Arvan berkata dengan jengah.
"Kalau begitu, carilah yang baik seperti dia." Bude Ratih bangkit dari duduknya.
"Kamu harus mengerti Arvan, Mbak juga punya keluarga, punya suami dan anak-anak. Mbak nggak selamanya bisa mengurus Aqila dan Aryan. Kasihan mereka sering terabaikan. Jika mereka punya ibu pengganti, mereka akan lebih terurus. Dan kamu pun bisa bekerja dengan tenang." Bude Ratih berkata sebelum berbalik dan berjalan ke luar dari ruangan kerja Arvan.
Arvan tercenung. Pelan-pelan ia berusaha mencerna perkataan kakaknya itu. Ya, kakaknya benar, ia tidak bisa selamanya merepotkan kakaknya itu. Ada saat-saat dimana kakaknya tidak bisa membantu. Saat itulah kedua anaknya berada dalam kondisi yang menyedihkan. Ia memang harus memikirkan ibu buat anak-anaknya. Arvan mendesah. Masih begitu sulit baginya untuk melupakan Nala dan memindahkan hatinya pada perempuan lain. Tetapi, mungkin ia memang harus mulai membuka hati untuk perempuan lain.
****Naya****
Arvan memasuki aula hotel Pangeran dengan langkah tegap. Untuk pertama kali ia meghadiri acara reuni sekolah. Selama ini, reuni dan segala macam acara temu kangen buat Arvan hanya sesuatu hal yang mubazir. Di tengah kesibukannya sebagai seorang pengusaha, acara-acara seperti itu bagi Arvan hanya buang-buang waktu saja. Meski ia tidak pernah menolak jika diminta menjadi donatur untuk acara-acara tersebut.
Kalau bukan karena bujukan Riko, teman akrabnya semasa SMA dulu, Arvan tidak akan datang. Riko jauh-jauh dari Surabaya pulang ke Pekanbaru hanya untuk menghadiri acara Reuni Akbar ini. Arvan merasa tidak enak jika tidak hadir, karena ia tinggal di Pekanbaru. Teman-temannya yang berada di kota-kota besar lainnya saja pada datang demi menyukseskan acara ini.
Beberapa orang terlihat langsung berdiri menyambut kedatangan Arvan. Riko langsung memeluknya dengan penuh kerinduan.
"Nah, ini tuan rumah yang kita tunggu-tunggu." Andi ketua kelas mereka dulu menjabat tangan Arvan dengan erat. Bergantian teman-teman Arvan menyalami dan memeluknya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?