Matahari udah ganti shift sama bulan, karena paksaan Dohyon yang menyuruhnya mampir untuk bermain game bersama tadi, mau tak mau Haruto menuruti teman sekelasnya yang sedang sakit itu. Badannya sih gak papa, katanya lagi sakit hati sama Papinya.
Sepanjang tiga jam di rumah si kembar, Wonyoung tak menampakkan diri sama sekali, emang bener kayaknya tipes, kalau waras pasti ngerecokin dia mulu. Haruto pamit pulang setelah adzan isya berkumandang, dia lagi jalan ke rumah sambil memikirkan kalimat Dohyon beberapa saat lalu.
“Habis lo apain dia? Lagi atraksi noh di kamarnya.”
Atraksi yang dimaksud adalah salto, kayang, jungkir balik, guling-guling gak jelas, gigit bantal sama guling, bahkan joget-joget kayak cacing kepanasan. Diceritakan sebegitu detailnya, Haruto cuma bisa ketawa sambil geleng-geleng kepala. Bagus kalau masih sehat mah. “Kok bisa gue merelakan rokok mahal cuma buat dia senyum lagi? Kayaknya otak gue yang udah geser.”
Haruto menutup mata sejenak kemudian menghela napas panjang sebelum memasuki rumah. Baru menapaki lantai ruang tamu, pria dewasa yang wajahnya mirip dengannya itu berdiri dari duduknya. “Dari mana? Kenapa gak bilang kalau pulang malem?”
“Ke rumah temen.” Jawab Haruto tak minat lantas berjalan ke kamarnya.
Mari sedikit mengulik tentang kehidupan Haruto. Saat umurnya sepuluh tahun, ia terbangun dari tidur nyenyaknya karena suara berisik dari dapur. Orang tuanya sedang bertengkar, mungkin saking kencangnya, topik yang mereka permasalahkan sampai di dengar oleh tetangga.
“Yaudah pisah! Kenapa dibikin ribet?”
“Gimana bisa lo egois ninggalin Ruto? Biarin dia tumbuh tanpa seorang ibu?”
“Gue muak sama lo! Tapi demi anak gue, kita pisah pas umurnya udah 17, gak ada tawar menawar lagi.”
Setelah malam itu, semuanya terasa berbeda. Mama yang selalu lembur bekerja sampai tidak pulang ke rumah. Ayah yang tak banyak bicara, mereka tidak melakukan interaksi kecuali di depan Haruto kecil.
Penyebab mereka bertengkar hebat adalah ekonomi. Ayah Haruto hanya manajer di perusahaan kecil yang gajinya pas-pasan, sedangkan Mamanya seorang Pengacara. Kisah si kaya dan si miskin memang terdengar klise tapi sangat melekat pada kehidupan nyata. Orang tua Haruto salah satunya. Melarang sang istri bekerja karena Hanbin merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lisa membayar kebutuhan sehari-hari seperti biaya listrik, air, bahkan membeli bahan makanan dengan uangnya sendiri.
Hanbin merasa gagal dan marah, kenapa malah istrinya yang menafkahi keluarganya?
Dan datanglah hari itu, Haruto versi dua belas tahun yang sudah lelah mendengar perdebatan kedua orang tuanya dan meminta mereka berpisah tanpa menunggunya menginjak usia tujuh belas.
Haruto menyalahkan Hanbin atas segalanya, pokoknya dia yang salah karena selalu memulai pertengkaran dan mementingkan ego. Jika Haruto beban, maka biarlah sang Ayah yang terbebani.
Hubungan mereka tidak baik sejak sidang perceraian. Haruto lebih banyak diam, menjadi seseorang lain yang berbeda dari sebelumnya. Jika Haruto umur delapan tahun adalah anak paling bahagia sedunia, tidak dengan dua tahun setelahnya dan tahun-tahun berikutnya. Karena tak punya orang terdekat, semua perasaannya dipendam sendiri. Bukan jadi manusia tanpa emosi, Haruto hanya pandai menyembunyikan sisinya yang lain. Berbanding terbalik dengan Wonyoung yang senang mengungkapkan perasaan, kan?
Bukannya tak paham teori teman ada untuk berbagi tawa dan luka.
Ia hanya ingin membagikan kebahagiaan, terlampau biasa berteman dengan luka dan kepedihan.
“Haru, uang sakunya kurang apa nggak?” Suara sang Ayah membuat Haruto yang sedang berganti pakaian menengok.
“Cukup.”
“Ayah mau pesen makanan, kamu mau apa?”
“Udah makan tadi bareng Jeongwoo.”
Mereka satu atap, tiap hari bertatap muka tapi minim bicara selain tentang makan, uang saku, bayar listrik, kayak orang asing.
Ayahnya tak pandai memasak, pun dengan Haruto. Mereka lebih sering membeli makan di luar. Untuk sarapan pun sederhana, memilih yang instan seperti roti, sereal, kadang-kadang telur ceplok. Peralatan memasak di rumah jadi tak berguna sebab jarang digunakan.
Karena kebiasaan hidup yang tidak sehat—makan makanan instan, jarang menelan sayur pula. Ayah menyetok buah-buahan di kulkas. Setidaknya jadi penyeimbang gizi.
Itulah alasan dibalik mengapa Haruto selalu membawa bekal buah bukannya nasi.
Pernah dulu membuat nasi goreng kebanyakan minyak. Kapok. Haruto tau itu mubazir.
Akhir-akhir ini Ayah jadi ojek online setelah turun jabatan di perusahaannya.
Haruto tau, Ayahnya berusaha maksimal untuk memenuhi kebutuhannya. Dia juga tahu diri, bersekolah di SMA Fiesta itu mahal, meski ia masuk jalur prestasi karena punya banyak piagam penghargaan saat SMP, tetap saja gaya hidupnya harus menyesuaikan. Tidak juga, Haruto tak seperti Doyoung yang tanpa beban membayar makanan semua orang di kantin saat berhasil mendapat nomor kakak kelas paling cantik seangkatannya, bukan Dohyon yang dompetnya selalu tebal berisi uang seratus ribuan, ia hanya mengeluarkan uang seperlunya, sisanya ditabung.
SMA Fiesta memang sekolah favorit dan elit, penghuninya cantik, ganteng, mulus, glowing ya karena punya uang untuk perawatan; ekonominya menengah ke atas. Mungkin beberapa ada yang bisa masuk pure karena prestasi seperti Haruto, presentasenya hanya tiga persen dari keseluruhan.
Mendengar teman-temannya pamer harta tiap hari, Haruto sedikit terhibur kemiskinannya.
Terciprat untung juga saat berkumpul tak perlu mengeluarkan uang sepeserpun.
Intinya dia bersyukur, lingkungan sekolah dan sifat teman-temannya tidak seperti drama yang May ceritakan, mereka berteman tanpa pandang bulu, yah sebagian besar tidak tahu kondisi ekonomi Haruto kecuali Jengwoo, teman SMP-nya. Dia bahkan disebut anak sultan beberapa kali karena cara berpakaian dan wajah tampannya. Lucu, ya?
“Ini kenapa kompak ngechat gue, sih?” Tanya Haruto heran setelah membuka handphone. Membaca pesan Dohyon pertama kali dan beralih pada grup chat kelas. Matanya melotot tak percaya, tugas praktek membuat film pendek yang harusnya dikumpulkan di akhir semester genap, dimajukan jadi satu bulan lagi. Udah sinting!
Bahkan Haruto bukan ketua kelas, tapi semua orang menaruh kepercayaan paling besar kepadanya karena predikat murid nomor satu, serta kebanggan para guru. Kadang Haruto menyesal hidup se-ambisius ini.
“Baru aja lega gak jadi ikut olimpiade, dikasih cobaan lagi.”
Ya, itu salah satu beban yang Haruto simpan sendiri selama ini.
[kasian kena mental breakfast, mana masih muda :(
jangan bosen ya karena aku sering update hehe]
KAMU SEDANG MEMBACA
Pink Lemonade ✓
Fanfiction"If we could just be together every day, the rain would turn into a rainbow too." ft. wonruto plutoisme, 2020.