Sepuluh detik termenung menatap layar ponsel, Haruto menghela napas untuk kesekian kalinya. Perempuan yang lebih tua sudah berjalan cukup jauh, mengamati berbagai jenis kosmetik dengan wajah berbinar. Ketika mata keduanya bertemu, Haruto otomatis berjalan ke arah Soojin. Sejak awal ia menebak, jika Wonyoung dan Soojin akan berperang mengorbankan uang saku untuk mendapatkan waktu Haruto. Ah, tapi ia terlalu percaya diri.
Daripada jalan dengannya, lebih baik bersama Jeongwoo.
Wonyoung tidak akan diacuhkan, mungkin gadis bongsor itu akan tertawa terbahak-bahak sekarang.
Lagi, perasaan ini. Haruto jelas tidak mampu membahagiakan Wonyoung karena terlalu merendahkan diri. Ia selalu berkata tak bisa membalas perasaan sang gadis, bayang-bayang masa lalu masih menghantuinya meski kini sedang berusaha menyembuhkan luka. Tapi dalam hati yang paling dalam, Haruto ingin menggenggam jemarinya, bersandar padanya, menceritakan segala kegundahannya pada Wonyoung. Sayangnya, Haruto sudah terbiasa menyembunyikan perasaan, sampai-sampai tak sadar menghilangkan jati diri sebagai bentuk pertahanan.
“Ck, harus banget begini?” Tanya Haruto pada pantulan wajahnya di cermin yang disediakan, ia jadi tempat percobaan, alisnya digambar lebih tebal, bibirnya agak ungu. Untung saja Soojin tidak sampai memasangkan bulu mata, Haruto mau pulang saja jika begitu.
Sedari tadi ia tahan walaupun tidak nyaman, toh satu juta itu bukanlah jumlah yang sedikit meski tujuan aslinya untuk beramal.
Sampai kapan Haruto harus bersikap tak enakan? Sampai kapan Haruto harus tersenyum dan menerima perlakuan orang yang merugikannya?
Apa susahnya berkata tidak? Ia bisa dengan mudah mengatakannya pada Wonyoung, kenapa terasa sulit sekarang?
“Kak? Gue gak mau bikin vlog,” ujarnya. Membuat Soojin yang tengah membandingkan warna lipstik di punggung tangan membuat raut wajah tak enak. Yang lebih tua menyudahi kegiatannya sekaligus mematikan kamera yang dibawa.
“Oh maaf. Gue terlalu maksain, ya?” Jawaban Haruto hanya anggukan kecil, sebisa mungkin menutup mulut agar tak keluar kalimat-kalimat yang menyakitkan. “Ya udah makan aja. Abis itu pulang.”
Soojin terlihat lebih baik dari apa yang Haruto bayangkan, masalah insta story itu sudah selesai dengan permintaan maafnya tadi pagi. Mereka naik ke lantai tiga menuju food court, Soojin tak bersuara sampai dering ponsel menyentuh telinga. Haruto melambatkan langkah, berniat menunggu kakak kelasnya yang sedang bertelepon entah dengan siapa.
Beberapa saat kemudian, Soojin menyusul. “Ruto, boleh minta gandeng sebentar?”
Tatapan heran muncul, Soojin menunjukkan layar ponsel, sebuah pesan dari seseorang. “Papa minta bukti, yang gue pake tadi uangnya.”
“Iya.” Haruto mengulurkan tangan, gadis di depannya langsung menggenggam lantas memotretnya. Saat mengangkat kepala, ia melihat keberadaan Wonyoung dan Jeongwoo, sedang menikmati waktu berdua sepertinya, apa-apaan dengan tatapan matanya? Sedang melakukan apa sampai tangan mereka menggenggam erat satu sama lain? Sejak kapan mereka sedekat ini?
Kenapa harus berpapasan, sih?
Soojin yang telah selesai dengan urusannya melepas tangan Haruto perlahan, melihat arah pandangnya lantas melambai. “Oh! Wonyoung sama Jeongwoo! Mereka di sini juga?”
Lucu, Jeongwoo memang sahabatnya, tapi kenapa Haruto seakan di tusuk dari belakang? Ah! Jangan lupakan tentang aturan lelang, bukannya bergandengan tangan dan mendusel di bahu itu wajar? Toh mereka juga berteman.
Wajar apanya?! Tak melepaskan tangan saat makan? Bahkan Jeongwoo terlihat nyaman dan tak terusik sedikitpun. Kenapa juga Wonyoung bisa akrab dengan Soojin walau pernah terlibat konflik? Banyak sekali hal-hal yang tak bisa masuk ke akal hari ini, Haruto pusing sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pink Lemonade ✓
Fanfiction"If we could just be together every day, the rain would turn into a rainbow too." ft. wonruto plutoisme, 2020.