Mau dipikir bagaimana pun, keluarganya sudah keterlaluan. Wonyoung sejak tadi mendumel kesal, bibirnya monyong dua senti. Haruto membiarkan, tak mencoba menjelaskan keadaannya juga, ia senang melihat wajah lucu gadisnya itu.
Sampai di rumah bukannya memberi salam, malah menatap tajam tiga manusia yang pura-pura duduk santai di ruang tamu, padahal tujuan aslinya menunggu anak gadis kesayangan pulang.
Wonyoung menghela napas berkali-kali, masih tak habis pikir.
Keadaan rumah Wonyoung terasa mencekam. Sang anak bolak-balik berjalan sembari menatap satu persatu anggota keluarganya, Papi Taeyong, Mami Jennie, Dohyon, kembali lagi ke Papi Taeyong dan berputar terus.
“Dodo! Gue selama ini baik sama lo, kan? Gue nyariin dasi tiap hari senin, gue rela naik angkot biar lo bisa pulang bareng May. Bisa-bisanya nonjok kesayangan gue?”
Dohyon menunduk dalam, menghindari tatapan tajam sang kakak. Wonyoung memang jarang marah, tapi sekalinya meledak satu rumah bisa gonjang-ganjing. Ia teringat peristiwa ketika berumur enam tahun, hari pertama masuk sekolah dasar jadi pengalaman paling menyebalkan bagi Dohyon kecil. Pagi itu sial sekali, Papi Taeyong yang ditinggal Mami Jennie ke luar negeri untuk bisnis bangun kesiangan, si kembar yang harusnya sampai pukul delapan, sedang mengumpulkan nyawa pada saat yang sama. Sial, setelahnya Wonyoung kecil yang masih buang air malah ditinggalkan saking terburu-buru.
Tau tidak?
Wonyoung berumur enam tahun yang terlupakan akhirnya berangkat sendiri, menaiki angkot, memanfaatkan uang saku pertamanya.
Bukan karena ditinggalkan, Wonyoung marah karena tak diberikan sarapan, pun bekal makan siang. Sehingga ketika teman-temannya makan saat istirahat, ia hanya duduk sambil tersenyum, menahan lapar.
Momen itulah, pertama kalinya dalam hidup, Mami mendapati Wonyoung diam seharian. Enggan keluar dari kamar selain ajakan makan. Dan karena hal ini, Papi menangisi kecerobohannya, berkali-kali meminta maaf pada anak gadisnya setelah panik setengah mati mencari keberadaan Wonyoung.
Dohyon ingat hari itu, keluarganya menangis bersama di ruang makan, merengkuh tubuh satu sama lain, membasahi piring-piring kosong, dan ucapan janji-janji yang selalu ditepati kedua orang tuanya. Hingga kini.
Mereka tak akan pernah ditinggalkan lagi.
Mereka tak akan pernah merasa kelaparan lagi.
Mereka akan selalu dapat pelukan terhangat tiap menginjakkan kaki di rumah.
Mereka punya hak untuk marah.
Mereka punya hak untuk membela diri.
Dan masih banyak lagi. Dari sini Dohyon tumbuh sambil belajar bersama Papi dan Mami. Toh mereka juga baru pertama kali jadi orang tua.
Suasana ruang tengah makin tegang, Wonyoung tak berhenti mencecar, “Mami juga kenapa gak misahin, sih?
“Mami ngobatin loh?” Mami Jennie berusaha membela diri, hendak melepaskan jerat dari pandangan penuh selidik sang anak gadis.
“Sama aja kalo disuruh ngupas bawang merah!”
Tentu saja, jika tau cerita lengkapnya, Mami Jennie malah jadi satu-satunya penolong Haruto. Bekas bogeman tak terlihat karena helm yang dipakainya, menyalahkan bawang merah yang tak bersalah.
Kini pandangan Wonyoung jatuh pada sang Papi, makin mengerucutkan bibir. “Papi! Haruto anaknya orang loh, gak boleh disakitin. Bayangin kalau Dohyon yang ditonjok begitu, Papi marah gak?”
“Tergantung Dohyon habis ngapain dulu?”
“Cium May tanpa izin?”
Dohyon bangkit dari duduknya tak terima, tangannya ditarik Mami, badannya limbung ke tempat semula. “Mana pernah gue cium May tanpa izin?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pink Lemonade ✓
Fanfiction"If we could just be together every day, the rain would turn into a rainbow too." ft. wonruto plutoisme, 2020.