Hari itu adalah hari dimana pentas seni tahunan yang diadakan sekolah menengah pertama untuk penyambutan murid baru. Ketika semua teman angkatannya membawa serta orang tua atau kerabat lainnya, Haruto duduk sendirian di kursi paling belakang, memandang tak minat drama yang ditampilkan di panggung. Ia terus menerus menatap layar ponsel, menunggu sang Ayah menjawab pesannya. Bahkan sampai perutnya berbunyi minta diisi, ia tetap duduk menoleh ke gerbang, barangkali Ayahnya akan datang dengan senyum cerah karena sang anak berhasil masuk sekolah favorit.
Ketika semua orang tersenyum menghadap kamera, berfoto-foto ria, Haruto minum sekaleng soda sambil menendang kerikil. Masih berharap kehadiran Ayahnya meski pentas seni yang diadakan hampir selesai.
Haruto menunggu, menunggu, dan menunggu, dalam hati ia mengulang kalimat yang sama, “tunggu sebentar lagi, Ayah pasti datang.”
Sebentar lagi itu sampai kapan?
Bahkan Haruto tak mengabari Mamanya karena tahu diri, ia pikir kehadiran Ayahnya sudah lebih dari cukup. Beliau berjanji malam sebelumnya untuk datang, menemani anak kecil yang mulai beranjak dewasa itu melihat pentas penyambutan.
Tapi apa?
Haruto tak bisa menangis walau dadanya sesak.
Sampai seorang anak datang kepadanya, memberi es teh plastik sembari tersenyum lebar dan memperkenalkan dirinya sebagai calon presiden tahun 2045, Haruto yang sendirian serta merasa kesepian memilih bergabung dengan keluarganya.
Ah, keluarga yang sempurna. Bapak yang suka bercanda, Ibu yang mudah tertawa, dan anak laki-laki yang hadir di tengah mereka. Haruto iri. Melihat mereka menyunggingkan senyum satu sama lain, hawa positif yang dipancarkan, soto yang ada di depannya ia makan dengan lahap. Tidak hanya satu mangkuk, Haruto menghabiskan tiga. Entah dimana urat malunya kala itu, Haruto pikir jika perutnya sudah penuh, kekosongan dalam dirinya akan sirna. Tapi ia salah besar, yang kosong bukan perutnya, tapi hatinya.
Tahu tidak kalimat Pak June yang melekat di benak Haruto sampai sekarang?
Ketika ia diantar pulang, pria yang mempunyai rahang tegas itu menepuk kepala Haruto dua kali sambil berkata, “kalau sedih, nangis. Kalau bahagia, ketawa. Kalau kecewa, marah. Ekspresikan emosimu, jangan dipendam. Ibarat pisau, rasa yang kamu tumpuk terus menerus membuat lukanya makin lebar dan dalam. Siapa yang bisa menyelematkan kamu? Bahkan orang lain gak bisa menyentuhnya barang seujung kuku. Luka itu bisa sembuh jika kamu melepaskan pisaunya terlebih dahulu.”
Mungkin, Haruto dua belas tahun tak paham artinya dan hanya mengangguk sebagai jawaban, berterima kasih sudah mengajaknya berfoto serta makan soto. Malamnya, Haruto mengurung diri di kamar, panggilan Ayahnya yang meminta maaf dan menawarkan makan malam bersama dengan ayam bakar; makanan favoritnya. Haruto tidak keluar sampai pagi menjelang. Ia kecewa, sungguh. Kehilangan sang Mama sudah meredupkan semangat hidup, kemudian kehilangan peran seorang Ayah. Setelah hari itu, hubungan mereka renggang.
Waktu ke waktu, Haruto sadar satu hal, sejak orang tuanya berpisah, ia jadi pribadi yang senang memendam. Bukannya sembuh seiring berjalannya waktu, lukanya bertambah lebar.
Setiap kali bersama Wonyoung, yang ada dipikiran Haruto hanya, “gue aja gak bahagia, gimana mau bahagiain dia?”
Jangan kira cowok jangkung itu selalu menolak cinta tulus sang gadis karena tak berperasaan, ia menolaknya karena punya perasaan. Haruto tak punya apapun untuk diberikan ke Wonyoung, bahkan sepotong kebahagiaan sekalipun.
“Haruto, mau buang waktu lebih banyak lagi?”
“Masih gak mau baikan? Mungkin empat tahun lalu gue maklumin karena lo masih kecil, tapi ini lo mau tujuh belas dan kekanakan kek gitu? Ayah lo berkali-kali minta maaf, tanggapan lo cuma wajah datar?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pink Lemonade ✓
Fanfiction"If we could just be together every day, the rain would turn into a rainbow too." ft. wonruto plutoisme, 2020.