Dua puluh empat : Benang Kusut

2.9K 557 286
                                    

“WONY!!” Teriak Dohyon tepat di telinga kembarannya untuk terakhir kali, jika ini tak berhasil ya dahlah. Capek. Kayaknya nih anak simulasi meninggal. Berbagai macam cara sudah dicoba untuk membangunkan Wonyoung dari tidurnya, mulai dari berbisik, menjerit, diberi cipratan air, mengemut pipi seperti saat berumur tiga tahun, Dohyon kelelahan. “Pengen gue tukar tambah sama serbet dapur biar ada gunanya dikit.”

Sepersekian detik berikutnya Wonyoung bergerak gelisah. “Lo ngapain anjir monyong-monyong gitu?”

“Hah?” Si pemeran utama sudah seratus persen mengumpulkan nyawa, ia berkedip lima kali menatap Dohyon yang membawa gayung dengan wajah frustasi. “Gue tadi... mimpi?”

“Apaan?”

“AH DODO LO GANGGU BANGET ELAH!!” Teriak Wonyoung disertai kekerasan fisik, ia melempar bantal tepat di wajah Dohyon lantas menggulungnya dengan selimut. Keadaannya sekarang mirip lemper, sabarin aja mah udah biasa tersiksa lahir dan batin. Wonyoung merengut sedih mengingat apa yang baru saja dialami, Haruto menciumnya di bibir! Gila, dia sudah melebur mencair membeku menyublim mleyot, ternyata hanya mimpi. Agak asu. Kenapa terasa sangat nyata? Suara beratnya, hembusan napasnya, bulu mata lentiknya, wajah sempurnanya, jangan lupakan bibir merah muda alami yang mencecap miliknya. Argh! Wonyoung bangun dari tempat tidur dengan pipi semerah tomat rebus, Dohyon menggeleng heran.

“Ganti baju dulu, seragam lo mau dicuci abis itu makan malam.”

Sadar masih memakai seragam sekolah, Wonyoung menghembuskan napas berat, ternyata ia ketiduran setelah pulang lebih awal. Terima kasih Hyunjin, pembuat masalah itu sepertinya bisa berguna juga. Dengan rambut acak-acakan dan jejak-jejak air liur di pipi serta dagu, Wonyoung berjalan santai menuju meja makan. Matanya membelalak saat menangkap figur familiar sedang mengupas bawang, memakai helm sebagai perlindungan agar tak menangis. “Loh? Haruto?”

Wonyoung berlari cepat ke kamar mandi, membasuh muka seraya merapalkan kalimat yang sama berulang kali. “Semoga gak lihat, semoga gak lihat! Plis kamu belekan aja seminggu, malu banget kalau inget mimpi tadi.”

Berhasil menetralkan jantung, Wonyoung keluar kamar mandi lantas tersenyum cerah.

“Calon mantu Mami ngapain di sini?” Pertanyaan tak tertuju padanya, Haruto masih sibuk memotong bawang merah sambil sesekali membenarkan posisi helm di kepala.

“Nungguin kamu sampai lumutan. Dari jam dua loh sekarang hampir jam tujuh.” Jawaban sang Mami membuat Wonyoung menepuk jidat, tak menyangka Haruto tetap menunggunya bangun sementara ia menikmati mimpi delapan belas coret. Jam besuk rumah sakit sudah habis sekarang, mana sempat menepati janjinya tadi siang untuk menjenguk Naeun. Seketika Wonyoung merona lagi, wajahnya terasa panas membayangkan bibir Haruto yang kenyal. Sialan! Mau jual otak dimana, ya? Wonyoung sudah gila sepertinya. “Kenapa wajahnya merah? Kamu habis ngapain?

Dohyon bersiul sambil menyandarkan badan di tangga paling bawah, menatap Wonyoung dan Haruto secara bergantian. “Mami, anakmu mimpi yang iya-iya.”

“NGGAK!” Wonyoung membekap mulut si bakpao lantas menyeretnya ke ruang tamu. Menemukan sang Papi berkutat dengan laptop, keduanya terkesiap. “Eh Papi.”

“Nyenyak banget tidurnya, kasihan tuh calon mantu sampai bantuin Papi bersihin kandang soangnya Pak RT, bantu masak juga noh buat makan malam.” Penjelasan Taeyong lagi-lagi membuat Wonyoung merasa bersalah. Haruto harus terjebak di rumahnya dan mendadak disuruh ini itu, pelatihan mental menuju halal kayaknya, simulasi mengatasi depresi sejak dini. “Ajak nyari angin gih, nanti kalau udah siap masakannya, Papi panggil.”

Wonyoung mengangguk, kembali ke kamar untuk berganti pakaian yang lebih nyaman, kemudian menghampiri Haruto di dapur. “Ruto...”

Mencoba melepaskan helm, Wonyoung dibuat deg-degan setengah mati melihat visual Haruto. Ini orang? Ganteng banget mau nangis. Dan sialnya, kedua netranya langsung terfokus pada—BISA GILA LAMA-LAMA!

Pink Lemonade ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang