Tiga puluh tiga : Berdamai dengan Masa Lalu

2.3K 304 81
                                    

hi! looooooong time no see 😭

well, ini 2k+ words jadi tiga bagian, pengennya aku pisah tapi yaudahlah ya sekalian aja, diharap ngemil sambil baca biar gak bosen! happy reading!

























“Pakai yang mana?” tanya Wonyoung pada dirinya sendiri. Hampir satu jam menggeledah isi lemari dan memilah baju yang pantas dipakai untuk menghadiri pernikahan Mama Haruto. Sebenarnya ia tidak punya banyak baju formal, dress saja bisa dihitung dengan jari karena Wonyoung sendiri lebih suka memakai celana. Jika pinjam pada Mami, tidak dulu deh, koleksi Maminya itu baju-baju mahal dengan bentuk yang aneh-aneh. Mengingat beliau adalah mantan model.

“Kalau pakai hitam malah kayak mau melayat gak sih? Tapi Ruto bilang mau pakai jas hitam.”

Belum juga menemukan pilihan yang tepat, Wonyoung mengerutkan kening, cermin panjang yang terletak di pojok kamar seolah muak melihat pemiliknya mondar-mandir berganti pakaian satu ke pakaian yang lain. “Kalau pakai putih, ntar gue lebih bersinar dari pengantinnya gimana?”

Ketukan pintu terdengar, wanita paruh baya yang wajahnya terlihat masih seperti remaja itu masuk ke kamar sang anak. “Won, Tante Hoyeon pengen ketemu kamu, kapan kosong?”

Ketika nama teman sang Mami disebut, Wonyoung menghela napas panjang.

“Mi, kan aku udah bilang gak mau,” jawabnya tak acuh. Pandangannya masih ditujukan pada pantulan diri di cermin, ia pikir bukan waktu yang tepat untuk membahas itu sekarang. Empat baju yang sebelumnya di atas kasur sudah kembali ke tempatnya—lemari, antusiasme menguap bersamaan dengan helaan napas pemilik kamar.

“Astaga, ketemu buat makan bareng doang?”

“Hm?”

“Dulu kamu bilang kalau udah SMA mau coba? Kamu tau dia sibuk banget kan? Kapan lagi gitu?”

Dulu sekali, Wonyoung kecil selalu bermimpi menjadi seperti Maminya yang luar biasa di depan kamera, supermodel yang namanya dikenal semua orang dan wajah cantiknya ada di mana-mana. Beranjak dewasa, keinginan yang sempat menggebu itu lenyap, tak lagi punya ruang di pikiran. Bukan karena hilang harapan, hanya saja dulu ia terlalu kecil untuk mendengar opini jahat orang-orang. Mengubur dan membuatnya perlahan terlupakan, Wonyoung sudah melakukannya. Mami tahu itu, tahu betul, tapi entah apa yang ada di dalam otaknya sekarang, raut sedih yang beliau pasang sangat menganggu pandangan.

Rasanya mau menangis kalau menggali ingatan tentang mimpinya yang dicemooh, keinginan yang diremehkan. Wonyoung cukup tahu diri, perkataan mereka ada benarnya, meski lahir dari rahim seorang supermodel, bukan berarti sang anak bisa bersinar sepertinya. Ah, lagi-lagi, Wonyoung memandang langit-langit kamar, mencegah air bening yang hampir jatuh dari pelupuk mata.

“Mending Mami bantu pilihin baju.” Wonyoung mengambil dua dress berwarna biru tua dan hitam, tak yakin keduanya masih muat karena dibeli beberapa tahun lalu.

“Mau kemana?”

“Mami dapet undangan kan? Mamanya Ruto.”

“Eh iya, kamu diajak ke sana?”

Mami Jennie menepuk sisi kasur, menyuruh sang anak duduk sejenak. Tanpa banyak bicara, Wonyoung menurut. Liburan kenaikan kelas sudah di depan mata, semua hal yang ia lalui setahun ini terasa menyenangkan, jelas karena Haruto. Kehadiran teman-teman lain juga menambah warna, meski mereka masih punya banyak kesempatan, rasanya Wonyoung tak rela waktu cepat berlalu.

Pink Lemonade ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang