Tiga belas : Motivasi

2.7K 667 61
                                    

“Pacarku.”

Satu kata yang dilontarkan Wonyoung membuat Haruto mendecih, ia menggeleng lantas meminum caramel macchiato yang tersisa setengah gelas di depannya. “Ogah. Jangan halu!”

Nah kan ditolak lagi. Wonyoung mengerucutkan bibir, memasang raut kesal.

“Tiga kali ditolak lagi jumlahnya seratus loh, apa gak mau mengakhiri kesengsaraan ini.”

Kalau dihitung dari awal mendekati cowok jangkung itu, baik dari kalimat langsung maupun tidak langsung, Wonyoung sudah ditolak sebanyak sembilan puluh tujuh kali. Tidak heran kenapa bisa sebanyak itu karena setiap ada kesempatan, Wonyoung mengungkapkan perasaannya. Tanpa persiapan, tanpa pikir panjang. Bahkan sudah tidak asing bagi telinga Haruto jika Wonyoung random mengajak pacaran. Paling parah sih jika sudah membawa nama Papinya, Wonyoung bilang akan melamar Haruto setelah lulus sekolah. Atau imajinasi anehnya tentang keduanya menikah dan memiliki sepuluh anak.

Lurah bukan?

Ya, halu parah.

“Kalau jadian sama lo, gue malah sengsara.” Satu ujung bibir Haruto tertarik ke atas, wajahnya meremehkan kesungguhan Wonyoung. Apa cewek berbaju kuning di hadapannya tidak capek? Sekeras apapun Wonyoung berjuang, sekeras itu juga Haruto menolak.

Bukannya terlalu kejam membuat cintanya bertepuk sebelah tangan selama ini? Ingat, Haruto memang tak berperasaan, salah sendiri menyukai orang sepertinya.

Rasa Wonyoung padanya bukan sesuatu yang harus ia pertanggungjawabkan. Haruto punya hak untuk menerima atau menolak. Hubungan yang dijalani dengan keterpaksaan itu tidak baik. Dibandingkan dengan pacaran, Haruto lebih fokus pada belajarnya, sudah diberi kesempatan menuntut ilmu di sekolah elit masa mau disia-siakan, dia bukan orang berada yang bisa melakukan apapun karena uang. Tahu tempat dan tahu diri!

“Kalau belum dicoba gak akan tau rasanya.” Timpal Wonyoung masih berusaha.

Haruto menggeleng untuk kesekian kali. “Makasih tapi gak minat.”

Sepuluh menit dalam keheningan, Haruto memutuskan keluar kedai disusul Wonyoung yang baru selesai minum. Si sayang berdiri di bawah pohon angsana, Wonyoung kira Haruto akan mengambil rokok dari saku kemeja merah mudanya. Ternyata permen cokor, padahal mau selebrasi kalau rokok. Hih!

Wonyoung meraih jemari Haruto karena banyak betina yang menatap ke arahnya, pokoknya jangan sampai kesayangannya didekati orang lain, nambah saingan lagi berabe!

Entah kenapa Haruto cuma diam, membiarkan celah kosong jemarinya diisi, setelah melihat kemana arah pandangnya, Wonyoung mengernyit bingung. Di seberang jalan ada seorang wanita berpenampilan heboh melambai ke arah mereka. Pakaiannya berwarna merah terang, memakai topi pantai dan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.

“Haruto, kan?” Tanya wanita itu setelah berhasil menyebrang, memegang pundak Haruto dengan mata berbinar. Isi kepala Wonyoung macam-macam sekarang, saking herannya dia melongo menurunkan rahang. “Masih inget Tante?”

Orang gila? Atau salah satu fans Haruto?

“Kamu sekarang gimana?”

Hah?

Haruto masih betah membungkam.

“Lihat, kan? Hidup bareng Ayahmu serba kekurangan, ya?” Ucapnya tertawa remeh setelah memandang Haruto dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wonyoung ingin mencela tapi tertahan dengan genggaman Haruto yang makin erat. “Daripada gak punya masa depan, gimana kalau kamu tinggal sama Mamamu dan Tante.”

Sumpah, Wonyoung rasanya mau robek mulut tante-tante di depannya. Apalagi melihat sorot mata Haruto yang berkilat marah tapi masih diam.

“Mamamu bisa beliin apa aja yang kamu mau. Ngaca coba, gak ada yang bisa dibanggakan sekarang, ya?”

Oasu.

Kalau wanita bergincu semerah cabe itu bukan Tantenya Haruto, Wonyoung udah ngasih headshot daritadi. Mana sok tau tentang kehidupan si sayang, bahkan mengomentari penampilan dan masa depannya. Emang dia ngasih makan? Enggak kan! Manusia jenis ini yang paling Wonyoung benci pokoknya!

“Ditunggu kedatangannya, jangan bawa baju dari rumah, biar Tante beliin yang lebih bagus dan bermerk.” Katanya final sambil memberi kartu nama pada Haruto. “Pergi dulu, ya. Ada rapat sama klien.”

Meski merasa kesakitan akibat tangannya digenggam terlalu kuat, Wonyoung mencoba memahami perasaan Haruto sekarang. Bisa-bisanya dia hanya diam, yang emosi malah Wonyoung. “Emang ya, umur gak menjamin kedewasaan seseorang.”

Tubuh kokohnya melorot, Haruto duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri, masih menggandeng Wonyoung yang mau tak mau ikut menjatuhkan bokong di sampingnya. Semilir angin menerbangkan daun-daun angsana yang sudah menguning, jalanan masih ramai dengan klakson yang mengudara. Kalau saja suasananya berbeda, Wonyoung akan bergelayut manja di lengan Haruto, mengambil sekecil kesempatan untuk memeluknya. Sungguh, tangannya perih sekali diremas kuat sama Haruto. Entah sadar entah tidak, cowok jangkung itu pasti sedang menahan emosinya dengan melampiaskan pada Wonyoung.

“Kok kamu diem aja, sih! Aku gak terima!”

“Gak salah omongannya.”

“Ih kok gitu? Kamu murid nomer satu, kebanggaan para guru! Banyak yang iri sama kecerdasanmu. Masa depan juga pasti terjamin!” Ucapnya menggebu-gebu, Wonyoung sampai menghentakkan kaki di tanah berkali-kali.

“Gue gak butuh dibanggakan sama guru, temen atau lo sekalipun. Gue mati-matian belajar, ikut berbagai lomba waktu SMP biar bisa lihat Mama senyum lebar karena piagam yang gue terima. Dua tahun yang lalu lebih tepatnya.”

Wonyoung diam beberapa saat, apakah dia baru saja mendengar Haruto bercerita tentang kehidupannya? Keluarganya? Perasaan terpendamnya?

“Gue berhenti, karena sekarang udah gak ada alasan buat semua itu.” Lanjutnya dengan suara lirih, Wonyoung menepuk pundak Haruto beberapa kali, memintanya tegak seperti sedia kala. Melihat sisi lainnya yang tak terduga membuat Wonyoung harus bersyukur atau malah marah? Tak pernah Haruto menunduk sedalam ini, tak pernah Haruto tersenyum dengan mata sedih, tak pernah Haruto selemah ini. Wonyoung menghela napas, rasanya dia mau nangis padahal yang punya masalah Haruto.

“Kamu sakit hati gak Ayahmu dijelek-jelekin?”

“Sayangnya, iya.”

Wonyoung tersenyum, seburuk apapun hubungan Haruto dengan sang ayah, dia anaknya, satu-satunya. “Buktiin ke Tantemu kalau kamu gak menyesal pilih tinggal bareng Ayah.”

Haruto mendongak, menatap Wonyoung yang kini juga menatapnya. Wajah menyebalkan yang selalu ia hindari itu tampak cantik dengan senyumannya. Dia baru sadar bahwa tangannya tak melepas genggaman, pantas saja hangat!

“Tunjukin ke dia, kebahagiaan itu gak melulu tentang materi.” Sambil menepuk kepala kesayangan dua kali, Wonyoung berpikir sejenak. “Apa, ya? Ikut olimpiade yang kamu tolak dua minggu lalu.”

Wonyoung tahu, dia lihat pakai mata kepala sendiri saat Haruto menolak permintaan Pak Rio untuk ikut olimpiade, bukan sekali, sebelumnya pun Haruto melakukan hal yang sama dan malah mengajukan orang lain sebagai gantinya.

“Gue udah melepas kesempatan itu.”

“Belum, kamu masih punya waktu.”

[hai?]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[hai?]

Pink Lemonade ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang