Sembilan belas : Anak Kecil yang Kehilangan Pundaknya

2.8K 634 193
                                    

Sesuai perkataan Wonyoung kemarin, setelah makan bersama, ia dan Haruto pergi ke rumah sakit, tujuan aslinya untuk menjenguk Ibu Jeongwoo sekalian mampir melihat Naeun.

Yah, Haruto sudah janji akan sering-sering bermain sebagai teman ke dua puluh satunya.

Karena bingung membawakan apa, Wonyoung patungan dengan Haruto membeli parsel buah. Kedatangan mereka disambut senyuman hangat dari wanita berambut pirang yang berbaring di bangsal, itu Ibu Jeongwoo.

“Repot-repot segala.” Ujarnya sambil mendudukkan diri, menyandarkan punggung dan mencari posisi yang nyaman. Baik Wonyoung maupun Haruto mencium tangan wanita paruh baya bernama Rosie itu.

“Nggak repot kok, Bu.”

Wonyoung pernah bertemu sekali saat belajar kelompok di rumah Jeongwoo bersama Yujin dan Doyoung. Beliau orang yang sederhana, ramah, murah senyum, tidak muluk-muluk pokoknya. Berdasarkan ceritanya, Bu Rosie bekerja di pabrik keramik, membuat piring, mangkok, gelas, bahkan tempat makan anjing. Sebagai karyawan, tentu saja. Dari seberapa kasar telapak tangan, bukankah bisa dilihat kerja kerasnya?

Saat itu tugas matematika yang diberi Pak Karnawan keterlaluan susah, bukannya cepat menyelesaikan, Jeongwoo mengajak sang Ibu bernyanyi. Konser dadakan yang cukup menyenangkan.

Diakui atau tidak, suara Jeongwoo memang sebagus itu.

Tapi sayang, bakat kerennya dipendam, bahkan ketika Kak Yedam menyuruhnya bergabung di ekskul band, Jeongwoo menolak. Katanya mager, nanti gak bisa makan gorengan sama minum es sepuasnya.

“Bapak sama Jeongwoo kemana, Bu?” Tanya Haruto setelah menyapu pandangan ke sekitar.

Bu Rosie menghela napas. “Lagi beli makan ke kafetaria. Udah hampir satu jam gak balik. Pasti kalau makan enak, Ibu gak diajak.”

“Kamu sekolahnya gimana? Kemarin Ibu dikasih tau kamu menang olimpiade, ya?” Rosie menepuk pundak Haruto beberapa kali. “Selamat! Keren banget kamu anak ganteng.”

Wonyoung tersenyum, melihat bagaimana reaksi Haruto yang tampak senang sekaligus gugup, anggukan kecilnya benar-benar menggemaskan. Lihat, banyak yang bangga akan prestasinya, perlu pengakuan berapa orang lagi? Dalam hati Wonyoung berdoa agar momen-momen bahagia terekam jelas melalui netranya, tersimpan dalam memori dengan jangka waktu yang lama. Sementara kejadian tak baik cepat berlalu bagai mimpi buruk semalam. Haruto sudah banyak menerima kepedihan di usia yang terbilang masih belia, pundaknya ringkih dijatuhi penderitaan tanpa henti. Bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Topeng berbeda yang terpasang di wajahnya mematikan jati diri.

Satu perempat hidupnya kehilangan warna. Tidak, Wonyoung tak ingin jadi pelangi yang hanya sementara, ia malah ingin jadi krayon, spidol, cat, pensil warna, apapun yang bisa memberi kehidupan. Meski akhirnya hanya menorehkan setitik putih di kanvas hitamnya.

“Kalau Wonyoung?” Suara merdu itu mengetuk gendang telinga Wonyoung, menghentikan kegiatan memandang Haruto dan merapalkan berbagai doa dalam hati untuknya. Ia menarik rambut ke belakang telinga, merasa gerah.

“Pusing, makin banyak tugas.”

Kalimatnya dijawab kekehan. “Mami kamu apa kabar?”

Ah iya, Ibu Jeongwoo ternyata teman SMA Mami Wonyoung, bukankah dunia sempit sekali?

“Sehat, masih suka marah-marah.”

Beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki menuju arah ruang rawat, tiga orang di dalamnya sama-sama menoleh ke pintu menantikan kehadiran manusia lain yang sejak tadi ditunggu kedatangannya. Dan benar, Jeongwoo menampakkan diri dengan cengiran, menenteng kresek yang Wonyoung tebak isinya makanan. Di belakangnya menyusul seorang pria dewasa memakai kacamata hitam dan topi pemulung.

Pink Lemonade ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang