Pakaian Perempuan dan Segala Problematikanya

1.8K 307 14
                                    

Pembahasan soal pakaian ini bisa dibilang sangat sensitif. Sekali dibahas, nggak akan selesai-selesai. Karena kita nggak bisa menghindari yang namanya perbandingan-perbandingan macam: pilih baju mahal atau murah; kalau dilihat dari segi ekonomi. Dalam cakupan yang lebih luas, pakaian jadi jalan pemulus kapitalisme.

Iya, pakaian yang fungsi utamanya untuk melindungi dan menghangatkan tubuh ((((terutama untuk para jomlo, wkwk))), makin lama kian bergeser fungsinya. Makin ke sini, mau pakai pakaian kayak apa pun, kita nggak akan bisa terbebas dari yang namanya perbandingan dan pelabelan juga.

Cewek pakai tank top dan hotpants, dibilang cabe-cabean.

Cewek nutup aurat tapi banyak kegiatan di luar, dibilang liberal.

Cewek nutup aurat dan pakai cadar, dibilang teroris.

Hadeeeh.

Makin ke sini, pakaian juga bisa senjata untuk mengurusi urusan orang. Jadi, makin lama jadi bahan keributan yang sangat empuk dan asoy.

Contoh sederhana, orang yang belum menutup aurat bilang begini: "Kamu pakai pakaian tertutup gitu apa enggak kepanasan?" Meski cuma tanya, itu udah masuk ke ranah teritori orang lain.

Nanti dibalas dengan pertanyaan begini: "Kamu pakai pakaian terbuka gitu nggak kedinginan?"

Sah-sah aja dong, sama-sama tanya begitu? Orang pertanyaan keduanya cuma kebalikan, walau bisa aja berbuntut jadi seperti ilustrasi di bawah ini.

"Kamu pakai pakaian tertutup gitu apa nggak kepanasan?"

"Lho, kamu sendiri pakai pakaian terbuka gitu apa enggak kedinginan?"

"Dingin enggak dingin itu urusanku. Kamu nggak punya hak untuk mengurusi urusanku." Merdeka!

"Lho, panas enggak panas juga urusanku. Kamu nggak punya hak untuk mengurusi urusanku juga." Merdeka!

Sentilan-sentilan semacam itu bisa seimbang kalau punya kesempatan membalas yang sama. Sama-sama punya dua kali kesempatan ngomong. Tapi kalau yang satu cuma ngomong sekali, tapi satunya lagi ngomong dua kali, ya jadinya agak timpang.

Masih menyangkut soal pakaian, kadang cuma pembahasan tentang pakaian pun bisa merembet ke topik agama, sosial, dan moral. Untuk hal ini, nggak akan pernah jauh-jauh dari yang namanya aurat.

Bahkan pernah (atau malah masih terus dibahas?) populer sebuah perbandingan semacam ini: lebih baik nggak menutup aurat tapi punya hati yang baik, daripada menutup aurat tapi aslinya munafik.

Iya. Nggak pernah ada yang salah dengan hak orang untuk menutup atau nggak menutup aurat. Itu jadi urusan masing-masing pemilik tubuh soal mau diapakan tubuhnya. Kata pejuang feminisme, tubuhmu adalah otonomimu. Kamu perlu memerdekakan tubuhmu, semerdeka-merdekanya. Lakukan apa pun terhadap tubuhmu sebaik-baiknya.

Tapi, sebentar. Jangan langsung mengartikan bahwa memerdekakan tubuh itu sama dengan membebaskan mata orang-orang melihat apa yang sepatutnya kita lindungi. Enggak sedangkal itu.

Tahu, kok. Beberapa orang mungkin menganggap bahwa menutupi tubuh kita dari penglihatan sembarang orang itu sama dengan mengungkung tubuh kita sendiri. Tapi tubuh kita punya hak untuk dijaga, dilindungi, dan diayomi sebaik-baiknya oleh diri kita sendiri sebagai bentuk rasa sayang.

Gitu.

Jadi, sebaiknya pakai pakaian yang tertutup atau terbuka?

Jawabannya kembali ke pribadi masing-masing.

Kalau saya sih pilih pakai pakaian tertutup. Soalnya saya nggak tahu gimana caranya melindungi tubuh saya dari jajahan mata-mata orang yang jelalatan selain dengan cara ini. Hahaha.

Masalah cowok masih sering kurang ajar ke saya sekalipun, itu pun udah bukan urusan saya. Itu urusan mereka, yang penting saya udah berusaha menjaga apa yang saya punya dengan sebaik-baiknya.

Rahasia Cewek!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang