B. Lima - Tiga Petunjuk

103 20 0
                                        

| Chapter 5 |

Mereka dituntun ke ruangan yang berbeda dari kemarin. Kalau kemarin di ruang tamu yang luas, kini mereka menuju ke ruangan yang letaknya lebih dalam. Ruangan itu diberi kode sandi. Pak Presiden—dengan dua penjaga yang berdiri di sampingnya—menekan beberapa angka hingga terdengar bunyi ‘pip, tak!’.

Sebelumnya mereka diberi sarung tangan elastis oleh salah satu penjaga. Mereka tahu pasti tujuan diberi sarung tangan ini. Jadi, tanpa menolak, mereka memakainya.

Udara dingin yang berasal dari pendingin ruangan menyapu lembut kulit mereka. Aroma jeruk menguar di mana-mana. Membuar segar dan ketagihan untuk menghidu lebih banyak. Ruangannya tidak seluas ruang tamu, tapi tetap terlihat rapi.

Banyak rak kayu yang berjejer di tiap sisi. Rak-rak itu tinggi, hampir menyentuh langit-langit bangunan. Semuanya terlihat penuh dengan buku-buku. Lalu, ada sebuah meja bundar di tengah ruangan, dengan empat kursi yang menemani. Vas bunga kaca pun tampak menghiasi meja.

“Sebelumnya, terima kasih karena ingin membantu saya mencari buku itu,” ujar Pak Presiden dengan senyum ramahnya.

Di barisan paling belakang, Rajit sibuk mengamati sekitar. Walaupun matanya minus, tetapi ia masih dapat menangkap sebuah titik berwarna merah di setiap sudut ruangan. Ada empat buah. Semuanya menyala. Rajit tahu itu CCTV. Kalau ada CCTV di ruangan ini—bahkan sampai empat buah—kenapa buku penting seperti itu bisa hilang?

Mereka berempat terpangah ketika Pak Presiden menekan sebuah tombol di balik salah satu deretan buku di jajaran ketiga dari atas. Sepanjang satu meter, rak tersebut bergerak dan berputar 180° (seratus delapan puluh derajat).

“Ruangan rahasia?” bisik Gean pada Caya. Ini keren. Ia tak pernah menyangka kalau bangunan ini memiliki ruangan rahasia.

Caya pun sama terpananya. Apalagi saat mereka diajak masuk ke ruangan rahasia itu, mereka dibuat semakin terperangah. Ruangan di dalam ruangan ini lebih luas. Rak-rak kaca berisi berbagai benda tampak terang karena diberi lampu putih di tiap raknya. Lalu, terdapat beberapa meja persegi panjang yang diletakkan tidak jauh dari rak-rak itu.

Beberapa orang berseragam polisi tampak sibuk mengamati sesuatu di sudut yang berbeda. Ada juga dua orang berpakaian semi formal, yang salah satunya melapisi sepasang matanya menggunakan kacamata.

Semuanya langsung berkumpul di satu titik dan membungkuk hormat pada Pak Presiden. Salah satu polisi dengan bordiran nama ‘Antonio’, maju beberapa langkah. Kepalanya ditutupi topi khas polisi berwarna coklat. Senyumnya terlihat hangat.

“Apa mereka adalah anak-anak yang ingin membantu dalam kasus ini?” tanyanya.

Dalam diam, Gean mendecih. Anak-anak katanya? Apa wajah mereka terlalu muda hingga bisa dibilang anak-anak? Ayolah, mereka sudah dewasa!

Pak Presiden mengangguk. “Betul sekali. Mereka akan membantu para polisi dan detektif untuk menemukan buku itu. Kalau begitu, saya tinggal, ya? Saya ada rapat yang harus dihadiri.”

Begitu Pak Presiden bersama dua penjaganya pergi melalui pintu masuk tadi, keheningan sempat terjadi beberapa saat. Pintu yang satu sisinya berupa rak buku itu tidak ditutup. Dibiarkan terbuka, namun pintu ruang perpustakaan ditutup rapat agar tidak ada yang sembarang masuk.

Omong-omong, kamera pengawas di sini lebih banyak. Entah karena ruangannya yang lebih luas atau karena berisi banyak benda-benda penting. Rajit sibuk memperhatikan dari tadi. Bahkan ia tak sadar kalau Pak Presiden sudah meninggalkan ruangan. Berdasarkan hitungannya, ada sekitar tujuh kamera pengawas—oh, bahkan ada satu lagi yang bersembunyi di antara warna abstrak di sebuah lukisan.

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang