-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.Kanaya POV
Ternyata, sulit sekali ya menebak jalan takdir yang terjadi. Kadang, ketika tidak ada lagi harapan, Allah berikan jalan yang datang tanpa aba-aba, tanpa agenda, tanpa rencana. Namun, ketika terlalu menjatuhkan harapan, Allah sendiri yang turun tangan dengan merubah alur yang pernah manusia mimpikan. Memang, tidak ada yang tahu mengenai takdir di masa depan. Semua berjalan, mengalir dan berhembus seperti ketetapan-Nya yang mutlak.
Sudah tujuh hari setelah peristiwa itu, peristiwa di mana aku kehilangan lagi sosok yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Sosok motivator hebat yang selalu mensupportku di saat aku kehilangan arah tuju. Rasanya berat. Ketidakrelaan terus saja menjadi hal yang tidak bisa hilang di dalam hati. Karena aku bukan cuma kehilangan calon suamiku, namun juga semangatku.
Seberkas kenangan tiba-tiba saja singgah. Memori tawanya, sedihnya, kehangatannya, semua seolah masih ada. Namun, dua detik setelahnya, aku disadarkan oleh kenyataan.
Hahaha, dia sudah menemukan kebahagiaannya.
Sambil menikmati keindahan taman belakang, aku duduk bersandar ditemani satu cangkir teh lemon yang dibuat Bunda. Rutinitas yang aku jalani akhir-akhir ini hanya duduk di taman belakang, membaca buku, dan menulis. Tidak ada lagi hang out bersama teman, atau pergi ke luar sekadar mencari udara segar. Semua bahkan terasa hambar.
"Sayang," bisik seseorang dari samping. Aku menoleh, kemudian menyambutnya dengan senyum tipis.
"Besok, keluarga Gus Aqmal akan datang. Apa kamu keberatan?"
"Tidak bunda, Nay tidak keberatan."
Bunda mengelus kepalaku yang terbalut hijab instan berwarna hitam. "Ikhlas butuh waktu, wajar jika masih terus terbayang. Yang paling penting, jangan berhenti untuk melanjutkan hidup. Karena akan ada orang baru yang bisa mengobati kecewamu."
-o0o-
Di ruang tamu, sudah ada beberapa orang yang duduk sambil berbincang. Adapun yang diam sambil menatap ke depan, dan ada yang sibuk bermain ponsel. Tepat di depan mereka terdapat meja yang tersaji berbagai camilan, seperti roti, keripik, brownies, buah-buahan dan banyak lagi. Tak lupa nampan yang gelasnya sudah terisi jus jeruk.
Waktu terus berjalan, hingga Ayah membuka obrolan serius yang menjadi inti dari pertemuan dua keluarga ini.
"Jadi, bagaimana kelanjutan hubungan Gus Aqmal dan putri saya?"
Gus Aqmal berdehem singkat. "Saya di sini ingin menyampaikan amanah dari teman saya, Almarhum Azzam yang disampaikan kepada saya tepat lima menit sebelum Almarhum meninggal dunia." Gus Aqmal menjeda ucapannya, beberapa detik setelahnya beliau melanjutkan, "Almarhum meminta saya untuk menggantikan posisi Almarhum, saya tidak tau pasti posisi apa yang Almarhum maksud, maka dari itu, saya ingin meminta pendapat panjenengan sedoyo terkait maksud 'menggantikan posisi' yang dikatakan almarhum."
*Panjenengan sedoyo : kalian semua
"Kamu dan Azzam sudah berteman sejak kapan?" tanya Bunda.
"Saya dan Almarhum Azzam berteman sejak di bangku perkuliahan, tepatnya saya, Azzam dan Yusuf. Kami bisa dibilang sangat dekat. Bahkan untuk melakukan apapun, kami selalu bertiga."
Bang Yusuf terkekeh. "Benar, mau keluar cari makan aja harus bertiga."
Bunda ikut tersenyum, kemudian beliau menggeleng pelan. "Oh iya, Gus Aqmal saya dengar dulu pernah hampir menikah nggih?"
"Nggih, saya dulu pernah hampir menikahi santri saya, temannya Kanaya. Namun di tengah-tengah perjalanan, saya dan dia memilih mengakhiri hubungan. Ada beberapa hal yang kami pertimbangkan, yang pertama dia sudah mencintai laki-laki lain. Kemudian saya yang juga sudah mencintai perempuan lain, dan kami ingin memberikan kesempatan untuk mencari cinta yang selama ini ada di hati masing-masing. Karena dulu kami dijodohkan, maka cinta belum bisa hadir di antara kami," jelasnya panjang lebar.
"Kalau boleh tau, siapa perempuan yang Gus Aqmal cinta?"
Bukannya menjawab, Gus Aqmal malah tersenyum sambil menunduk.
"Loh kok malah senyum sendiri." Bang Yusuf ngakak di tempatnya. Disusul seluruh anggota keluarga yang ada di ruang tamu.
"Tinggal bilang kamu cinta sama Kanaya apa susahnya to, Le." Kini giliran Bu Nyai Fauziyah yang sudah membuat pipiku memanas.
"Apa sih, Mi," bisik Gus Aqmal namun bisa didengar semua orang di sana.
"Sudah-sudah, mungkin Gus Aqmal masih salah tingkah. Kita lanjutkan saja, saya ada pertanyaan untuk Gus Aqmal dan keluarga, jika saya meminta Gus Aqmal untuk menikahi Kanaya sesuai amanah almarhum apa Gus Aqmal bersedia? Namun jika tidak bersedia, dari pihak keluarga kami tidak ada paksaan. Kita akan tetap menjadi keluarga dan menjalin silaturahim. Begitu, saya serahkan keputusan terbaik Pak Kyai dan keluarga." Ketika Ayah selesai menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Aku menerka-nerka jawaban apa yang akan disampaikan Pak Kyai, apakah setuju atau tidak.
Setelah beberapa menit keluarga Pak Kyai Hasyim berbincang, kini beliau sudah siap menjawab pertanyaan dari Ayah. Aku semakin was-was, mengingat dulu aku pernah ditolak mentah-mentah di depan Gus Aqmal.
"Setelah kami berbincang, dari pihak kami, terutama putra kami, Aqmal, kami menyetujui dan bersedia menikahkan Aqmal dengan putri panjenengan, yaitu Kanaya. Ini dilakukan bukan hanya sebagai dalih amanah almarhum, tetapi juga sebagai bukti rasa cinta putra kami dan pertanggungjawaban atas apa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Sebagai orang tau, tugas kami hanya mendukung, untuk keputusan kami serahkan kepada yang bersangkutan," ujar Pak Kyai Hasyim sumringah.
"Nggih, kalau begitu sekarang tinggal persetujuan Kanaya. Bagaimana Kanaya? Gus Aqmal sudah setuju, tinggal menunggu keputusanmu."
Aku terpaku, untuk kesekian kalinya jantungku berdegup tak karuan. Jika boleh jujur, masih ada rasa untuk Gus Aqmal walau tak sebesar dulu. Aku menghela napas, semoga saja ini jawaban yang terbaik.
"Bismillahirrahmanirrahim, saya bersedia menikah dengan Gus Aqmal."
"Alhamdulillah." Kompak seisi ruangan.
"Tapi ada satu syarat," lanjutku membuat suasana yang awalnya ramai kini seketika hening.
"Kalau boleh tau, apa syaratnya?” tanya Gus Aqmal.
"Saya ingin pernikahan dilakukan tidak dalam waktu dekat. Saya ingin menenangkan diri setelah apa yang terjadi. Hanya itu, yang lainnya saya serahkan kepada keluarga."
"Baik, saya setuju. Mulai sekarang kamu tidak perlu memikirkan apapun, tentang persiapan dan acara. Biar saya yang urus, tugas kamu hanya mendoakan karena saya yakin dengan doamu, semua akan berjalan lancar."
Aku tersenyum. "Nggih, matur suwun."
Setalah itu, Bunda meminta semua untuk berkumpul di ruang makan untuk menyantap sajian makan malam yang sudah disiapkan. Namun, aku masih duduk di ruang tamu, bersama Gus Aqmal dan Bang Yusuf yang masih mengobrol.
"Nay, gak ke ruang makan? Kamu dari siang belum makan loh." Aku menyengir.
"Belum makan? Kenapa?" Kini Gus Aqmal yang bertanya.
"Gak apa-apa. Bang Yusuf sama Gus Aqmal mending ikut makan deh, daripada gabut di sini."
Bang Yusuf mengacak ujung kepalaku sambil terkekeh. "ternyata kamu udah gede, udah mau nikah aja. Btw, Gus, njenengan masih cinta sama adik saya yang bawel dan ngeselin ini?"
"Kalau saya tidak cinta, maka saya tidak akan di sini," jawabnya. Singkat, namun bisa membuat siapa saja tersenyum.
***
”Biarkan skenario ini berjalan, mengalir hingga Allah takdirkan
Kisah ini berakhir.”~Muhammad Aqmal Ar Rasyid~
~~~~~~~
Bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/235165114-288-k322260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]
Spiritual[Ar-Rasyid Family1] [PROSES REVISI] Tentang harapan yang kutaruh pada manusia, kemudian Allah jatuhkan hingga aku lupa, sebaik-baiknya tempat berharap hanya kepada-Nya. *** "Apa kamu mau menjalani hidup bersama saya?" Tanya Gus Aqmal serius. Aku me...