{28} Gus Aqmal dan rasa cemburu

994 105 35
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.

Kanaya POV

"Siapa yang bicara sama kamu kemarin?"

Diam, atmosfer di dalam kamar spontan berubah mencekam. Jangan bilang Gus Aqmal melihatku berbincang dengan Fadhil kemarin. Aku menghembuskan napas, sembari membalikkan tubuh hingga berada tepat di depan Gus Aqmal.

"Gus lihat?" Bodoh, ingin sekali aku menenggelamkan diri sekarang. Pertanyaan konyol macam apa itu, Nay?

"Kalau tidak lihat, kenapa saya tanya kamu?" Gus Aqmal tetap melirikku dengan mata elangnya. Tatapannya tenang, namun membuat siapa saja diam tak berkutik.

"Itu teman saya, Gus," jawabku setelah beberapa detik.

Namun, tidak ada balasan dari mulut pria yang ada di depanku. Dia malah berlalu pergi sembari membawa beberapa tumpukan kitab yang aku tau akan digunakan mengajar santri pagi ini.

Hatiku mencolos melihat reaksinya, apa Gus Aqmal marah? Tapi kenapa? Aku hanya sekadar mengobrol ringan bukan? Lantas mengapa Gus Aqmal mempermasalahkan hal itu?

Aku menggelengkan kepala mencoba mengusir hal negatif yang terbayang di otakku. Jelas saja Gus Aqmal marah, aku ini istrinya, bagaimana mungkin dia merasa baik-baik saja jika istrinya berbicara dengan lelaki yang bukan mahrom. Bahkan di sini, Fadhil berstatus sebagai mantan pacarku.

"Kanaya, Kanaya, ada saja ulahmu."

-o0o-

Seusai jama'ah Maghrib, Gus Aqmal masuk ke dalam kamar ketika aku sedang mengerjakan makalah. Dia mungkin akan bersiap pergi ke salah satu acara di desa sebelah. Lantas aku segera berdiri dan menghampirinya.

"Gus, mau pakai baju yang mana?" tanyaku sembari melirik tumpukan pakaian Gus Aqmal.

"Terserah."

Aku menghela napas panjang, segera saja aku mencari pakaian yang akan dikenakan Gus Aqmal. Setelahnya, Gus Aqmal bergegas mengganti pakaian.

"Saya berangkat dulu, nanti pulang larut. Gak usah nunggu saya pulang," ucapnya beberapa saat sebelum meninggalkan rumah.

Namun, belum genap dua langkah pria itu meninggalkan kamar, terlebih dahulu aku menahan pergelangan tangannya.

"Gus," lirihku. Pria itu tidak merespon apapun.

"Maaf ya, tadi saya nggak maksud bicara sama dia, kok."

Bukannya menjawab, Gus Aqmal malah membalikkan badannya dan membawaku dalam pelukan hangatnya.

Dalam kehangatan itu, aku mampu merasakan detak jantung Gus Aqmal. Begitu teratur dan aku menyukainya. Tangannya pun kini sudah berada di atas kepalaku, mengelusnya perlahan dengan tempo yang sangat pelan.

"Saya gak masalah, kok, Nay. Saya maklumi kamu ketika kamu berbicara dengan banyak orang di luar sana. Saya tidak akan melarang atau mengekang jika itu masih dalam batas wajar. Tapi saya tidak bisa membohongi hati saya, ketika saya melihat kamu nyaman dengan orang lain. Saya merasa, saya belum mampu membuatmu nyama seperti kamu nyaman bersama mereka. Saya hanya ingin menjadi rumahmu, rumah ternyaman yang kamu datangi bagaimanapun keadaanmu. Baik susah maupun senang. Karena saya ada, untuk terus menemanimu. Jangan membuat saya merasa gagal, dan merasa tidak berguna, ya?"

Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang