{26} Malioboro dan mimpinya

1.1K 132 39
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.
.

Aku menggeleng lagi, di depanku, sudah ada penjual cilok yang mengangkat satu panci besar yang aku yakini berisi cilok menuju halaman rumah. Di sekelilingnya, berkumpul para sepupu Gus Aqmal yang sudah heboh sambil membawa piring juga garpu.

"Apa lagi, sih, ini Gus?" tanyaku namun Gus Aqmal mendelik seolah tidak tau apapun.

"Gus, ih!" Aku memutuskan untuk ikut duduk di samping Ummi. Meninggalkan Gus Aqmal yang tengah sibuk bersama sepupunya.

"Ini Aqmal kenapa lagi? Kok ada penjual cilok dibawa ke sini? Malam-malam pula." tanya Ummi terheran-heran.

"Nay gak tau, Mi. Tadi Gus Aqmal pamit mau isi pengajian isya' di masjid Jami' tapi pulang-pulang bawa tukang cilok."

Ummi Fauziyah menggeleng pelan, mungkin beliau terheran-heran dengan sifat Gus Aqmal. Jangankan Ummi, aku saja terkejut.

Lima menit setelah keributan tadi, Gus Aqmal datang ke arahku sambil membawa tiga plastik berisi cilok beserta sambalnya. Dia menyodorkan cilok tersebut kepadaku dan Ummi.

"Ummi masuk dulu, kalian bicara saja." Setelah ummi benar-benar menghilang dari halaman, Gus Aqmal meraih tanganku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku masih diam sembari melahap cilok yang tadi Gus Aqmal berikan. Sebenarnya aku tidak masalah jika Gus Aqmal membawa tukang cilok ke rumah. Tapi ini masalahnya, se isi pesantren gempar akibat suara tukang cilok yang terus berteriak. Terlebih ini sudah larut, waktunya para santri untuk istirahat. Namun suara tukang cilok itu mengganggu ketenangan santri yang terlelap.

"Iya, maaf. Saya salah." ujar Gus Aqmal tiba-tiba. Aku pun spontan meliriknya. "Maksudnya?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.

"Saya tadi lihat beliau lagi di pinggir jalan, kasihan gak ada yang beli. Akhirnya saya minta beliau untuk datang ke sini. Ketika lihat beliau, saya jadi ingat kamu di rumah. Saya mikir, gimana nasib keluarganya jika beliau tidak bawa uang hasil jualan? Terlebih ini sudah malam, dan dagangannya masih banyak."

Lagi dan lagi, aku tidak bisa marah kepada Gus Aqmal. Di setiap perbuatannya, pasti ada alasan terselubung yang tidak semua orang paham. Ada saja perbuatan yang awalnya dikira tidak masuk akal, tidak berguna, tidak ada fungsinya, padahal memiliki makna tersembunyi. Bukan untuk Gus Aqmal, tapi untuk orang disekitarnya.

Aku merekahkan senyum, membuat Gus Aqmal ikut tersenyum. "Iya, gak apa-apa. Saya juga mau minta maaf, tadi udah su'udzon sama njenengan. Maaf, nggih Gus?"

"Iya. Sebagai ganti rasa kesal kamu, besok saya ajak kamu ke Jogja. Saya ada jadwal pengajian, setelah pengajian selesai, kita jalan-jalan ala anak muda."

-o0o-

Mobil kebanggaan Gus Aqmal sudah terparkir di depan sebuah masjid besar yang dipenuhi ratusan Manusia. Hari ini Gus Aqmal akan mengisi pengajian di sana, dan aku ikut untuk pertama kalinya.

Aku sedikit ragu, ketika puluhan mata menyoroti kami dari luar mobil, seakan menunggu siapakah pemilik mobil ini. Aku menoleh menatap Gus Aqmal penuh harap, diluar dugaan, dia malah mengelus ujung kepalaku sambil mengecupnya pelan.

"Ini," katanya sambil menyodorkan masker. "Dipakai, saya gak mau kamu dilihat banyak orang. Saya tau kamu risih jika diperhatikan seperti itu."

Aku tersenyum hingga mataku menyipit. Lantas segera memakai masker yang Gus Aqmal berikan.

"Terima kasih, Gus. Akhirnya njenengan peka juga." Aku terkekeh di akhir kalimat, mengakibatkan Gus Aqmal memutar bola matanya kesal.

Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang