-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.T
ubuhku menegang, entah sejak kapan udara di dalam aula menjadi panas. Beberapa kali aku mengalihkan pandangan ketika orang yang digadang-gadang sebagai penerus Kyai Hasyim itu naik ke atas panggung. Jujur saja, jantungku berdegup kencang layaknya seorang yang dimabuk cinta. Aku memang masih menyimpan rasa, sulit melupakan orang yang terlanjur bertakhta dalam hati.
Gus Aqmal mulai memberikan kenang-kenangan berupa piagam, trophy, medali dan buket bunga kepada Akhi Hamdan, dilanjut sesi foto bersama. Kemudian berlanjut menuju Adila, Gus Aqmal melakukan hal serupa. Tapi, aku tidak sengaja mendengar perkataan Gus Aqmal yang dilontarkan pada Adila.
"Selamat dan semangat menuntut ilmu, semoga ilmu yang kamu dapat bisa bermanfaat," ucapnya dengan senyum tipis.
Tersenyum samar.
Sakit ya, ternyata, melihat orang yang hampir menjadi pendamping hidup saat ini tersenyum pada perempuan lain. Masih saja rasa tak rela membelenggu dalam hati, bukankah mereka akan segera menikah? Lalu kenapa aku harus merasakan sakit ini? Sadar, aku ini siapa? Hahaha jangan mimpi Kanaya!
"Kanaya."
Aku terkejut, segera aku menoleh. "H-hah?"
"Jangan melamun," peringatnya begitu lembut, sama seperti saat ia mengungkapkan perasaannya kala itu.
"Tidak, Gus. Saya tidak melamun," elakku lirih.
Tiba-tiba, dia mengalungkan medali ke leherku, tentu saja aku segera mendongakkan kepala karena kaget. "Kamu boleh berbohong, tapi hati kamu selalu jujur, Nay." Diam, aku tidak berniat membalas ucapannya.
"Sama halnya dengan ucapanmu saat itu, kamu memang mengatakan kamu bisa melupakan saya, tapi saya bisa melihat kebohongan di mata dan hatimu."
Aku menggeram. "Berhenti bersikap egois, Gus."
Gus Aqmal terkekeh, ia menyerahkan piagam dengan tawa palsunya. "Saya tidak egois, semesta yang memaksa saya egois, Nay."
"Oleh sebab itu, saya akan meminta kepada sang pencipta semesta untuk berhenti membuat anda egois," balasku tajam, berniat menghentikan obrolan aneh ini.
"Tapi sayangnya, saya ingin meminta kepada pencipta supaya Semesta membuat saya tetap egois jika itu bisa membuat saya selalu bersamamu."
Aku menggeram. "Gus, saya dan anda tidak memiliki ikatan yang sah. Jadi, saya harap, anda tidak bersikap kurang ajar atau saya akan melaporkan anda kepada pihak yang berwajib!"
Gus Aqmal menyodorkan trophy lalu tersenyum. "Iya. Saya memang kurang ajar, saya egois, saya gila, saya brengsek dan itu karena kamu, Kanaya."
Aku memalingkan pandangan, merasa bosan terus berhadapan dengan wajah lelaki itu. Terlebih ia mengatakan hal yang membuatku mengingat semuanya.
"Ayo Gus, foto dulu," komando sang fotografer. Gus Aqmal lantas segera berdiri di sampingku, ia mengangkat ibu jarinya, sedangkan aku diam sambil membawa piagam dan trophy.
"Mbak Kanaya senyum dong, masa merengut gitu," perintah sang fotografer.
Aku menyergitkan keningku ketika sebuah kaki menginjak sepatuku. Aku menoleh tajam ke arah Gus Aqmal seolah berkata 'apa hah?!'
KAMU SEDANG MEMBACA
Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]
Espiritual[Ar-Rasyid Family1] [PROSES REVISI] Tentang harapan yang kutaruh pada manusia, kemudian Allah jatuhkan hingga aku lupa, sebaik-baiknya tempat berharap hanya kepada-Nya. *** "Apa kamu mau menjalani hidup bersama saya?" Tanya Gus Aqmal serius. Aku me...