Aku sudah sampai kantor dan langsung memasuki ruangan. Katanya laporan Oji ada beberapa masalah pada stock dan terjadi kesalahpahaman antara Oji dengan karyawan ku.
Seperti ini yang tidak seharusnya terjadi. Aku mengecek terakhir kali stock di isi dan dari kapan berkurang karena pesanan. Semuanya pas dengan apa yang di katakan Oji, tidak ada yang salah tapi pada tanggal sepuluh tiba tiba stock kosong dan tidak di isi kembali.
Ini lah permasalahannya. Karyawanku bilang kalau tanggal sepuluh itu baru di stock kembali. Nyatanya belum ada laporan yang masuk.
Bukannya Oji tidak boleh membuka dokumen ini untuk memastikan. Tetapi Oji lebih suka berdiskusi soal masalah kantor karena kami membangun ini berdua bukan sendiri.
Pintu ruanganku terbuka dan disana berdiri pria yang kemarin menghubungi nomor ku untuk memesan gantungan kunci di acara pernikahannya. Aku mempersihlahkan duduk dan kami mulai berdiskusi.
Tak lama calon wanitanya datang menyusul, barulah disitu mereka membicarakan soal design yang mereka mau. Karena pernikahannya bertemakan sedikit Belanda, mereka ingin souvenir yang berbentuk kincir Belanda.
Tak lupa aku sedikit kasih gambaran yang nantinya akan aku diskusikan dulu dengan anak design. Mereka terlihat puas apalagi wanitanya.
"Saya mohon berikan yang terbaik, pak. Terimakasih atas waktu anda, maaf mengganggu."
Aku menjabat tangannya. "Baik akan kami lakukan sebaik mungkin. Terimakasih kembali, pak, bu. Bahagia selalu."
Masalah satu selesai. Sekarang tinggal masalah kesalahpahaman tadi. Ku panggil Oji dan karyawan ku. Hari ini sepertinya ini saja yang harus di urus karena keluhan lainnya tidak ada.
Setelah 30 menit lamanya berbincang dan berdiskusi akhirnya masalah selesai. Untunglah ini tidak fatal untuk pembeli karena itu akan merusak citra perusahaan kan?
"Coba lain kali koordinasi dulu dengan yang di bagian gudang. Baru kamu bisa memasukkan data yang valid. Saya sebenernya kecewa tapi tidak apa apa, jangan diulangi lagi."
Aku bisa lihat penyesalan diwajahnya jadi aku tau ini cuma masalah biasa.
"Baik, pak. Saya minta maaf untuk masalah ini. Saya harap kedepannya tidak ada lagi seperti ini."
Kini tinggal aku dan Oji berdua di ruangan.
"Apa kabar dengan om Heridson? Apa kamu pernah menjenguknya setelah hari pernikahan mu?"
Pertanyaan dari Oji membuatku kaget, tak pernah sekali pun Oji menyinggung soal papa. Ditanya soal menjenguk rasanya masih belum bisa, hatiku masih antara kasihan dan benci aku tidak mau membuat salah satu rasa itu mendominasi hatiku. Lebih baik aku diam dan tak menganggu itu lebih baik daripada harus mengurus hidupnya juga.
"Saya tidak tau, yang pasti tempatnya masih sama seperti pertama kali ditangkap. Penjara," jawabku tegas sambil merapikan berkas. Oji duduk dengan tangan bersila dan menatapku.
"Apa masih ada yang mengganjal? Bagiamana kabar orang yang membully mu dulu? Bagaimana dengan pelakor itu?"
Malas sebenarnya aku membicarakan ini.
"Kau tidak tau? Nasib mereka juga sama. Hanya saja beda tempat."
"Maksudmu?"
"Saya meminta mereka dipenjara ditempat yang berbeda, ini cukup adil untuk saya."
Oji menatapku bangga seperti aku sudah mempunya sikap tegas.
"Ternyata seorang Andi bisa tegas dan tau arti kepuasan."
"Rasa benci untuk papa sebenarnya tidak sebesar rasa bencinya untuk Tante Friska. Sudah! Kenapa jadi membahas mereka?" tanyaku kesal dan lanjut menandatangani berkas.
Oji terdiam, kami sama sama bekerja dan berbincang begitu lama.
***
Aku pulang dengan pak Musti dan melihat Yara dengan makanan makanan yang ada di depannya. Mataku melotot melihat makanan sebanyak ini hanya dimakan sendiri dan sudah hampir habis?
"Sayang! Kenapa bisa banyak makanan?" tanyaku.
Yara menunjuk satu satu makanan dan dia bilang kalau dia ingin kebab tapi juga ingin takoyaki tapi ingin makanan lainnya dan tidak bisa memilih.
"Tapi kamu bisa makan untuk besok harinya, tidak sebanyak ini untuk satu hari! Kamu mikir apa sih?" apakah nada bicaraku kencang?
"Kenapa sih memangnya? Aku cuma mau menghilangkan kesedihan aku Andi! Ini cara untuk bisa melupakan hasil testpack kemarin!"
Aku tertampar akan ucapannya. Dia masih memikirkannya? Bodoh!
Yara lari dan naik ke atas menggunakan tangga. Ku tarik nafas ku dalam dalam dan berniat menyusulnya ke atas. Aku naik lift kecil untukku bisa naik ke atas.Yara berdiri dibalkon dengan bahu yang bergetar dan tangan yang berulang kali mengusap matanya.
"Menangislah sampai kamu puas, sampai sakit hati kamu hilang sampai emosi kamu tersampaikan."
Ucapanku berhasil membuatnya semakin kejar. Ku ambil tangannya dan menghadapku. Yara tiba-tiba duduk dipangkuanku dan menangis kencang. Ku usap rambutnya lembut.
"Aku baru pulang kerja lihat istrinya nangis gini bikin aku lemas."
"Maaf."
"Aku juga minta maaf kalau tadi aku membentakmu. Selesaikan tangisanmu dulu."
Yara menghapus air matanya. "Udah selesai. Aku mau turun, tapi bareng kamu aku gak kuat jalan."
"Baik nyonya, saya laksanakan perintahnya," jawabku membuatnya sedikit tertawa. Aku turun menggunakan lift dan langsung ke kamar.
Mengantarnya sampai di pinggiran kasur lalu menaruhnya. Ku ambil tangannya, "Sudah sampai nyonya."
"Aaa, jangan panggil nyonya!" Kesalnya.
"Baik ratu."
"Ishh masih aja." Aku tau apa yang seharusnya aku ucapkan.
"Baik, sayang."
Lihat! Dia tersenyum malu.
***
Hai! Maaf sebelumnya lama gak update ya. Aku merasa lagi banyak pikiran dan ya susah bagi waktu wkwk.
Berniat berhenti nulis cerita ini, karena aku tau cerita ini akan jadi bangkai atau cerita ini semakin terlalu di paksa alurnya. So yeah. Kita lihat nanti ya:)
Sorry.
Enjoy,
H.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonara
General FictionBaca dulu HERIDSON sebelum baca ini. Kami begitu menantikan mu, tapi ternyata Tuhan memberi kami cobaan dulu sampai kamu hadir disini.