Yara sudah semakin membaik setelah tiga hari dirumah sakit. Mual dan nyeri perutnya sudah tidak ada lagi kata Yara setelah pemeriksaan juga kondisi kesehatan Yara baik.
Kami bersiap siap untuk pulang bersama dengan mama dan Anya juga yang datang kemarin menyusul.
Yara memakai kursi roda untuk sampai ke mobil, tadinya Yara ide ingin dipangku sampai ke mobil tapi mama melarangnya dan menyuruh Yara pakai kursi roda saja.
Lucunya kami sama sama jalan bersampingan. Aku dibantu Anya mendorong kursi roda tapi tanganku juga membantu kok, sedangkan Yara di dorong mama.
Kami tertawa melihat diri kami masing masing, biasanya suami mendorong kursi roda istrinya kalau sehabis sakit. Ini karena aku pakai kursi roda mana mungkin aku mendorongnya malah terlihat aneh.
"Ma, fotoin aku sama Andi kayak gini dong, lucu deh," ucap Yara memberi handphone nya ke mama. Yara menyuruhku untuk bergandengan tangan dengan jarak. Baru kita berdua dekat dan tersenyum manis.
Aku mengusap kepalanya sambil tertawa kecil. Momen seperti ini langka sekali.
"Nanti kita harus cetak terus pajang kamar ya?" Aku mengangguk.
Kandungan Yara sudah semakin terlihat membuatku ingin terus mengelusnya, belum ada tendangan dan pergerakan yang bisa sampai terlihat oleh kita tapi kalau aku dekatkan telingaku aku tau dia hidup dan sehat.
***
Sampai dirumah kita semua bersih bersih badan karena dari rumah sakit. Tidak baik kalau hanya berganti pakaian saja, gimana pun bakteri atau virus bisa saja menempel di badan kita.
Bibi telah mempersiapkan makan siang untuk kami semua. Aku juga memanggil pak Musti agar ikut bergabung sekaligus perayaan Yara sembuh dari sakitnya kemarin.
Yara sekarang sudah semakin berselera makan walaupun memang ada tantangan mualnya, namanya juga ibu hamil muda itu wajar kata dokter hanya saja kalau sudah berlebihan seperti Yara kemarin itu yang parah.
"Enak banget, bi, makanannya," puji Anya kepada bibi. Anya juga lahap sekali memakan ayam gulainya dan tempe goreng.
"Makasih, nak, yang lahap makannya ya."
"Enakan mana sama masakan mama, Anya?"
Anya seperti berpikir dulu sebelum menjawab, "Enak semua kok, tapi masakan mama the best!"
Mama menyipitkan matanya seperti menyelidik apakah Anya bohong.
"Iya masakan bibi juga enak banget ya? Buktinya Yara sampai doyan makan sekarang."
Yara yang lagi mengambil kuah gulainya lagi tersipu malu. "Capek juga, ma, kalau sakit. Aku gamau semakin kurus apalagi aku lagi hamil harus kuat makan."
"Tapi jangan dipaksa banget ya? Kata dokter kan makan sedikit asal sering itu gapapa kalau kamu lagi mual," kataku dan Yara mengangguk.
"Perhatian banget sih, kak Andi nih."
Kami semua tertawa mendengar ucapan Anya.
"Pak, terimakasih ya sudah banyak membantu. Maaf kalau merepotkan bapak."
"Saya malah senang kalau dibutuhkan dan bisa membantu, den Andi."
Kami melanjutkan makan kami dengan gurauan dan cerita kemarin saat dirumah sakit.
Suasana meja makan seperti ini belum pernah aku rasakan. Ini rasanya seperti punya keluarga yang utuh dan sangat bahagia. Hidupku du kelilingi oleh orang baik itu sudah cukup membuat ku merasa tenang dirumah.
Dulu aku hanya sendiri dirumah, makanan pun seadanya bahkan sampai tidak makan. Sampai malam hanya air putih yang menemani ku yang membuatku sulit karena harus bolak balik ke kamar mandi.
Tapi aku juga rindu rumah ku dulu, aku harus ke sana nantinya. Entah bersama Yara atau sendiri saja, melihat kondisi nanti. Dipikiran ku hanya Yara dan kandungannya.
***
Mama memutuskan untuk kembali ke rumah bersama Anya karena harus mengurus kerjaan juga dan besok Anya sekolah. Dirumah sepi kembali dan tertinggal aku dan Yara. Kami belum mau ke kamar karena belum mengantuk.
Untuk itu kami ke atas untuk melihat kondisi langit sore dari balkon. Aku memangku Yara dan menggunakan lift khusus aku.
"Coba tadi dari rumah sakit kita kayak gini pasti lucu deh haha."
"Lebih baik dan lebih aman kalau kamu pakai kursi roda sendiri, sayang."
Yara menarik nafas dan membuangnya. Mengusap perutnya dengan lembut dan menuntun tanganku juga untuk bersama mengelusnya.
"Kemarin rasanya aku kayak mau mati saking lemasnya, sayang. Tapi kamu tau gak? Dipikiran aku itu cuma kamu dan anak kita."
Aku mendengar segala ucapannya.
"Kalau aku berjuang sampai situ saja berarti aku belum cukup kuat menjadi seorang ibu. Bukannya seorang ibu mentalnya harus seperi baja ya? Terus kalau aku berhenti disitu juga aku belum cukup baik jadi istri kamu, aku harus meninggalkan suami ku ini dan mengingkari janji ku kepada mama dan mamaes kalau selamanya menemani kamu," ucap Yara yang menangis. Begitu tulus ucapannya barusan membuatku terharu betapa hebatnya istriku.
"Aku.. hiks.. juga mau rasain punya keluarga kecil pasti rasanya beda kan?"
Ku raih tangannya dan mencium nya berkali kali. "Terimakasih sudah berjuang ya sayang. Kamu sehat aku pasti bahagia sekali. Semoga cukup sampai disini saja cobaan cobaan hamil yang kamu alami ya? Aku gak sanggup lihatnya."
Dengan yakin Yara mengangguk, "Aku janji akan berjuang buat kamu dan anak kita!"
"Gitu dong istriku hebat."
"Eh tapi kamu mau punya anak berapa sayang?"
Bagaimana bisa dia berpikir berapa yang aku mau saat satu pun belum hadir ditengah kami. Itu bahkan tidak terpikir olehku karena melihat kondisi Yara.
"Tergantung Tuhan dan kamu aja, sayang. Tuhan yang kasih dan kamu yang mengalami mengandung, melahirkan jadi semua terserah kamu saja. Kalau satu pun aku mau karena melihat semua perjuangan kamu yang tidak mudah."
Yara menatapku sambil tersenyum lama sekali. "Ini suami idaman aku!"
Dia mencium pipiku kanan kiri, mata, hidung, dahi serta daguku.
"I love you, papa," ucap Yara yang membuat suaranya seakan anak kita yang berbicara.
"I love you, nak."
Langit berwarna kuning dan kami memutuskan masuk ke rumah. Sudah cukup diluar nya takut Yara juga belum sembuh total.
Mari kita lihat kisah aku dan Yara kembali, akankah berjalan mulus setelah ini? Atau Tuhan kasih cobaan yang lebih berat dari sekarang.
______________________________________
Enjoy,
H.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonara
قصص عامةBaca dulu HERIDSON sebelum baca ini. Kami begitu menantikan mu, tapi ternyata Tuhan memberi kami cobaan dulu sampai kamu hadir disini.