Suster memberikanku surat persetujuan keluarga untuk tindakan yang selanjutnya akan dilakukan. Tanganku bergetar saat hendak menandatangani surat itu. Akhirnya keputusan sudah bulat.
"Lakukan sebaik mungkin dok, saya ingin istri saya sehat dan pulih," ucapku tegas.
"Baik, pak. Kami juga ingin yang terbaik untuk pasien kami."
Suster dan dokter pun masuk kembali dan menutup pintu lagi. Aku memeluk mama dan kami berdoa untuk keberhasilan operasi ini.
Tiba-tiba pintu operasinya terbuka lagi, dan... ternyata anakku yang keluar! Dua suster yang mendorong inkubator anakku berhenti sejenak untuk aku dan mama bisa lihat.
Anakku sehat, sempurna dan cantik. Senyumanku tak bisa lepas saat ini.
"Anak papa," aku menangis sambil melihat dan meraba dari luar inkubator. Inkubator nya tidak bisa dibuka karena aku dan mama tidak dalam steril.
"Anak papa, selamat datang di dunia nak." aku memanggilnya dengan namanya.
"Cucu oma, sayang. Selamat datang di dunia, nak. Sehat sehat ya, doakan mama mu juga sedang berjuang nak."
Berulang kali mama membuat ciuman yang dari tangannya dan si tempel ke inkubator nya. Aku tersenyum karena mama mengelus pundak ku dengan senyuman juga.
"Baik, pak, bu, kami harus membawanya ke ruang perawatan ya. Permisi."
Setelahnya suster membawa pergi anakku. Aku dan mama kembali berdoa untuk Yara.
Berusaha berpikir positif kalau Yara akan ada disini bersama kami dan tidak terjadi hal buruk setelahnya. Sudah cukup penderitaan istriku karena kehamilannya, sekarang yang ku pikirkan bukanlah kecewa tapi keselamatan istriku.
Tanganku tak bisa ku biarkan karena dingin, berulang kali menggosok gosok tangan agar hangat. Karena kalau sedang khawatir atau deg degan tangan dan sekujur tubuhku dingin dan bergetar.
Aku memberitahu Oji kalau anakku sudah lahir. Karena lagi suasana tubuh tak bisa mengetik aku pun menyuruh Oji memberitahu yang bisa dia kasih tau.
"Andi, setelah ini, Yara akan sehat saja? Tidak ada komplikasi di dalam tubuhnya?" tanya mama.
"Katanya lebih bahaya kalau mempertahankan rahimnya dan meninggalkan sedikit plasentanya didalam, jadi jalan yang terbaik adalah pengangkatan rahim, ma. Doakan Yara sehabis ini sehat."
"Pasti, nak, pasti Yara kumpul lagi dengan kita."
Aku mengangguk yakin, "Yara kuat, ma. Dia tidak lemah."
Hari semakin siang, dari pagi tadi sekitar jam sembilan pagi mulai operasi dan sekarang sudah pukul sebelas lebih. Aku menyuruh mama untuk sarapan dulu karena kami tadi hanya sarapan roti dan itu tidak membuat kami kenyang.
Apalagi disini dingin sekali, jadi harus makan.
Aku? Sama sekali tidak lapar. Pikiranku hanya Yara dan Yara. Kira kira Yara sudah sampai mana operasinya.
Sudah satu setengah jam sekarang dan dokter belum keluar juga. Mama bahkan sudah kembali dan membawa makanan juga untukku. Tapi sama sekali tidak berselera makan.
Aku mendengar suara dekat dengan pintu operasi dan benar dokter keluar. Dia melepas masker operasinya dan tersenyum.
"Operasi histerektomi nya berjalan dengan lancar. Pendarahannya pun sudah berhenti, pak. Selamat!"
Hatiku tenang, aku senang. Dengan senyum lebar berterimakasih kepada dokter. "Terimakasih, dok. Terimakasih sudah menyelematkan istri saya."
"Tidak tau harus bilang apa lagi dok, terimakasih banyak. Sampaikan kepada dokter yang lain yang menangani anak saya, dok. Suster terimakasih juga ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonara
Ficción GeneralBaca dulu HERIDSON sebelum baca ini. Kami begitu menantikan mu, tapi ternyata Tuhan memberi kami cobaan dulu sampai kamu hadir disini.