19

2.1K 356 27
                                    

Renjun tahu berlari itu buruk bagi jantungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Renjun tahu berlari itu buruk bagi jantungnya. Namun itu tidak mengurungkan langkahnya untuk terus berlari menuju ruang operasi Chenle, dengan Jisung yang mendorong kursi Jaemin berada dekat di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang dan terasa sakit, namun ia terus berlari sekencang mungkin. Ia bahkan tidak tahu kedua kakinya bisa berlari secepat ini.







"Ada yang ingin kukatakan sebelumnya."

"Apa itu?"

Jaehyun menarik nafasnya.

"Sesuatu terjadi pada Chenle."







Renjun menggelengkan kepalanya dengan keras.

Tidak mungkin.







Jaehyun menatap mereka dengan mata berair. Tangan pria itu bergetar. Ini pertama kalinya Renjun melihat Jaehyun nampak sangat sedih.

"Operasinya gagal."







Jantungnya berteriak memintanya untuk berhenti berlari, namun ia tidak peduli. Air matanya menetes, namun buru-buru ia menghapusnya. Tidak ada apa-apa yang terjadi pada Chenle. Anak itu baik-baik saja, Renjun yakin. Tidak perlu ia menangis sia-sia. Ia yakin Chenle hanya akan menertawakannya bisa melihatnya nangis seperti ini.







"Dia mengalami serangan jantung di tengah operasi."







Tidak.

Tidak boleh Chenle.

Chenle harus baik-baik saja, Renjun yakin. Renjun mengenal Chenle lebih dari yang lain. Ia tahu seberapa kuatnya anak itu. Chenle akan baik-baik saja.

Langkahnya terhenti begitu ia sampai di depan ruang operasi Chenle. Rasa panik kembali menyerangnya ketika melihat mamanya Chenle yang tadinya terlihat sangat semangat dan penuh dengan harapan, kini menangis kencang di dalam pelukan suaminya. Nafas Renjun terengah-engah menatap keduanya, lalu menatap dokter yang berada di depan ruang operasi. Jisung dan Jaemin tak berselang lama turut sampai.

Renjun menarik nafasnya.







"B-Bagaimana operasinya?"







Semuanya hening.







"Katakanlah sesuatu!" teriak Renjun.

Jisung segera meraih tangan Renjun.

"Maaf. Di tengah operasi, tiba-tiba pasien mengalami serangan jantung. Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi nyawa pasien tak lagi terselamatkan. Kami minta maaf yang sebesar-besarnya."

Dokter itu membungkukkan tubuhnya.

Renjun terdiam, masih terlalu terkejut untuk mencerna semua yang baru saja terjadi. Kedua kakinya berubah lemas dan ia terjatuh begitu saja. Jantungnya merasa sakit, detakkannya terasa terlalu keras dan tidak beraturan, namun ia abaikan. Satu-satunya hal yang bisa ia dengar hanya suara isak tangis mamanya Chenle. Mereka berdua tadi sianglah yang mengantar Chenle masuk ke ruang operasi itu.

Mereka berdua yang melihatnya untuk yang terakhir kalinya.

Air mata Renjun menetes keluar begitu saja. Hatinya pedih. Kedua tangannya bergetar tanpa ia sadari. Chenle meninggal. Anak itu telah pergi. Secepat ini, semudah itu ia pergi begitu saja. Ia pergi dan Renjun takkan pernah bertemu dengannya lagi. Takkan pernah melihatnya tertawa, takkan pernah mendengar leluconnya, takkan pernah melihatnya mengenakan seragam seperti yang dijanjikannya.







Tidak mungkin.







Ia benar-benar pergi.







Renjun samar-samar mendengar Jisung berteriak marah pada dokter itu. Bahkan ia sampai mendorongnya dengan kesal. Namun ia hanya bisa terdiam. Tubuhnya seolah tidak bisa digerakkan olehnya sendiri.

Semua ini terlalu banyak.







"Aku tidak mau mati. Aku ingin sembuh dan terus hidup. Kematian adalah hal yang sangat menakutkan."







Kata-kata Chenle kembali terngiang di benaknya. Anak itu hanya ingin hidup. Ia hanya ingin sembuh dan mulai hidup seperti orang normal. Kemarin mereka masih bermain bersama, kemarin mereka masih bisa bersenang-senang, namun kini, ia pergi begitu saja.

Dengan cepat.

Tanpa pemberitahuan.

Ia masih ingat bagaimana gembiranya wajah anak itu begitu masuk ke ruang operasinya. Ia benar-benar gigih, menaruh harapan terakhirnya pada operasi ini. Bahwa setelahnya, ia akan bisa sembuh dan keluar dari rumah sakit. Seumur hidupnya ia bahkan tidak bisa merasakan rasanya pergi ke sekolah, rasanya tumbuh normal seperti anak-anak lainnya.

Seumur hidupnya, ia selalu berada di medan perang.







Renjun terus menangis dengan kencang. Ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi, kepalanya terlalu sakit akibat menangis terlalu keras.

Ia hanya lelah.

Ia hanya ingin semua ini berakhir.

Apa gunanya bertahan hidup kalau hidup sendirilah yang selalu menyakitimu?

Apa indahnya hidup di dunia?

Renjun sama sekali tidak mengerti. Hidup terus mengambil orang-orang yang berharga jauh darinya, satu per satu mereka meninggalkan dirinya. Sama seperti orang tuanya meninggalkannya begitu saja ketika tahu ia terlahir cacat.

Apa tujuannya dia dilahirkan jika hidupnya tidak berguna seperti ini?

Bukankah kematian terasa lebih menyenangkan?







Renjun perlahan menarik nafasnya.

Membiarkan kegelapan mengambil alih.

Membiarkan kegelapan mengambil alih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hospital Playlist (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang