04

2.7K 471 17
                                    

Jaemin nampak bingung ketika Jeno mendorong kursi rodanya ke balkon tempat ia bertemu mereka pertama kalinya kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jaemin nampak bingung ketika Jeno mendorong kursi rodanya ke balkon tempat ia bertemu mereka pertama kalinya kemarin.

Hanya ada 2 orang disana.

"Renjun dimana?"

Jisung dan Chenle saling bertatapan, seolah menyuruh satu sama lain untuk menjawab Jaemin. Hal itu membuat Jaemin semakin bingung.

"Dia lagi minum obat," jawab Jeno.

Jaemin terdiam mendengarnya.

"Kamarnya dimana?"

"Dua kamar sebelah kamar Chenle," jawab Jeno. "Kenapa?"

"Gak, bukan apa-apa."

"Mau kesana?" tanya Jeno.

"Renjun hyung selalu ngelarang kita untuk ke kamarnya setiap kali dia lagi berobat," ujar Chenle.

"Kenapa?"

"Entah."



Jaemin mendorong kursi rodanya menuju kamar Renjun. Entah apa yang membuatnya menghampiri kamar Renjun, meski sudah dilarang oleh yang lain. Rasa penasarankah? Atau rasa kasihan? Jaemin tidak terlalu pandai membedakan keduanya, apalagi ketika ia berada di rumah sakit seperti ini. Ucapan Chenle tadi masih membekas di pikirannya.

"Dia gak mau keliatan lemah," ujar Chenle. "Aku pernah ngeliat dia diobatin sekali. Dia bener-bener kesakitan."

Tangan Jaemin berhenti mendorong di depan kamar Renjun. Pada setiap pintu kamar pasien terdapat sebuah kaca. Jaemin dengan jelas dapat melihat Renjun dari kaca tersebut.

Anak itu duduk bersila di atas kasurnya. Ia nampak sangat kecil, sekarang ketika Jaemin memerhatikannya dengan seksama. Perlahan, anak itu meminum pil-pil berwarna. Jaemin bahkan tak sempat menghitung berapa saking banyaknya.

Beta blocker.

Diureutik.

ACE Inhibitor.

Indomethachin.

Prostaglandin.

Bagi anak-anak seumurannya istilah-istilah tersebut harusnya terasa asing. Namun bagi Renjun, semua itu adalah makanan sehari-harinya. Obat yang bisa membuat jantungnya tetap berdetak normal.

Semua pil itu harus ia minum setiap hari. Karena tak ada yang tahu kapan jantungnya akan kembali berulah.

Salahkan ibunya yang melahirkannya dengan jantung bermasalah seperti ini.

Renjun menelan pil tersebut satu per satu dan meraih gelas di samping kasurnya. Jantungnya mulai terasa sakit. Dokter bilang itu adalah efek samping dari pil yang ia ambil. Jantungnya kadang berdebar terlalu kencang, membuat dadanya terasa sesak.

Inilah kenapa ia benci minum obat.

Ia benci jadi orang sakit.

Renjun berteriak kecil ketika detakan jantungnya terasa terlalu kencang. Tangannya meremas dadanya dengan keras. Peluh mulai mengalir di sekitar kepalanya.

Terlalu sakit.



Jaemin terdiam melihat raut kesakitan Renjun. Jantungnya mulai berdebar kencang. Ingin sekali ia masuk dan membantunya, namun di satu sisi ia sadar ia bukan siapa-siapa.

Entah mengapa hatinya turut merasa sakit melihat Renjun meringis. Padahal ia tak mengenal anak itu sama sekali. Anak itu juga nampak membencinya. Namun hatinya sakit melihat Renjun kesakitan. Renjun terlihat sangat lemah dan rapuh seperti itu, berbeda dengan anak yang menatapnya dengan tajam beberapa hari lalu.

Itu membuatnya ingin mengenal Renjun lebih dalam.

Perlahan, Jaemin mendorong kursi rodanya mundur.



Renjun masih mengabaikannya ketika mereka bertemu keesokkan harinya.

Bahkan sehari setelahnya.

Jaemin memutuskan untuk membawa ponselnya ketika mereka bertemu dan meminjamkannya pada yang lain. Jeno dan Chenle ternyata mempunyai ponsel, namun mereka jarang menggunakannya. Sedangkan yang lain tidak punya kesempatan untuk menggunakannya. Jaemin memperlihatkan beberapa permainan sepak bola yang sengaja ia unduh di ponselnya untuk membunuh waktunya selama disini. Namun nyatanya, ia sendiri tak pernah memainkan game yang ia unduh itu.

"Tinggal pencet yang ini untuk tendang, terus arahkan kesini," ujar Jaemin pada Jisung. Anak itu nampak sangat berkonsentrasi untuk bisa mencetak gol dalam permainan itu.

Renjun menghela nafasnya dengan keras.

Jaemin menoleh menatapnya.

"Renjun-ah," panggil Jaemin. Renjun nampak terkejut mendengarnya memanggil namanya. "Kalau kau membenciku, aku bisa pergi saat ini juga. Aku tidak mau membuatmu tidak nyaman dengan kehadiranku disini."

"Jaemin-ah," ujar Jeno terkejut.

"Kalian boleh ambil ponselku. Aku duluan."

Jaemin pun mendorong kursinya kembali ke kamarnya. Ia tidak merasa marah pada Renjun, ataupun membenci anak itu.

Entah kenapa, ia seolah bisa mengerti apa yang dirasakannya.



Karena sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati terdalamnya, Jaemin dan Renjun itu sangat mirip.

Ia, sama sepertinya, juga sangat kesepian.

Dan mereka mengatasi kesepian itu dengan mendorong orang-orang terdekat mereka. Mereka tidak mau terluka lagi.

Jaemin mengerti benar apa yang dirasakan Renjun.



Karena itulah, ia menjauh.

Karena itulah, ia menjauh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

a/n

Aku gak ngerti apa-apa soal istilah kedokteran yang ada di fic ini, semuanya dari google. Maaf kalau ada anak kedokteran disini ^^

Hospital Playlist (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang