11

2.3K 382 27
                                    

Renjun masih belum bangun keesokkan harinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Renjun masih belum bangun keesokkan harinya.

Bahkan hari-hari setelahnya.







Menghabiskan hari hanya dengan ketiga temannya yang lain kini terasa aneh. Tidak ada lagi yang biasanya memarahinya maupun menghujaninya dengan kata-kata tajam. Jaemin tidak pernah benar-benar merasakannya, namun kini pria itu tidak ada, ia merasa kosong.

Tidak ada yang tahu kapan Renjun akan kembali bangun.

Tidak bahkan dokter.

Tidak bahkan orang terpintar sekalipun.

Mereka kini hanya bisa terus percaya.







Untungnya, kondisi Jisung sudah lebih stabil. Ia sudah diperbolehkan keluar dari kamarnya dan beraktivitas seperti biasa, bisa kembali bertemu dengan mereka. Yang menariknya dari hubungan mereka adalah, mereka tidak bermain game maupun belajar bersama untuk menjadi saling dekat. Tidak banyak yang bisa dilakukan di rumah sakit seperti ini. Namun mereka semua menjadi dekat dengan kisah hidup mereka.

Jaemin sudah tidak lagi menggunakan ponselnya. Ia bahkan tidak ingat dimana terakhir kali ia meletakkannya. Bertahan hidup seharian tanpa ponsel adalah sesuatu yang ia anggap mustahil dulu, tapi kini, ia berhasil melakukannya.

Berada di tempat ini berbeda dengan berada di dunia luar.

Seolah tempat ini memiliki dunia kecilnya sendiri.

"Kau belum pernah memberitahuku penyakitmu," ujar Jaemin.

"Aku?" tanya Jisung.

Jaemin mengangguk.

Jisung tersenyum kecil.

"Paru-paruku ada bakterinya. Mereka bilang ini mirip seperti Tubercolosis, tapi alasan sebenarnya aku masih ada di tempat ini adalah karena mereka sendiri tidak yakin. Mereka bilang belum pernah melihat bakteri seperti ini di paru-paru, maka itu mereka juga sebenarnya tidak tahu penyakitku," jelas Jisung.

Jaemin terdiam mendengarnya.







Bisa tetap kuat, meski tahu penyakitnya membuat hidupnya hancur.

Jaemin juga ingin menjadi kuat seperti mereka.







"Kalian benar-benar kuat," ucap Jaemin.

"Huh?"

Chenle menatapnya dengan bingung.

"Kalau aku yang mengalami semua ini, aku mungkin takkan bisa bertahan," lanjut Jaemin. "Mungkin aku akan terus menyalahkan diriku sendiri, menyalahkan semua orang, kenapa harus aku yang sakit seperti ini? Kenapa harus aku yang tidak bisa hidup normal seperti anak lainnya? Kenapa aku? Tapi, kalian semua nampak sangat kuat."

Jeno terdiam mendengarnya.

"Kami sama sekali tidak kuat," ujar Jeno.

"Aku juga ingin hidup normal seperti anak lainnya," timpal Chenle. "Aku juga takut mati."

Jaemin terdiam, mendengar suara anak itu yang bergetar. Berada di ambang kematian setiap saatnya, tanpa tahu kapan ajal akan benar-benar menjemput. Jaemin hanya bisa membayangkan seberapa menakutkannya hidup seperti itu.

"Aku tidak mau mati. Aku ingin sembuh dan terus hidup. Kematian adalah hal yang sangat menakutkan," ujar Chenle.

"Chenle-ya."

Chenle buru-buru menghapus air matanya yang menetes.

"Maaf," ujarnya. "Aku sedikit tertekan karena Renjun ge."

Jeno menepuk pundak Chenle.

"Ini bukan pertama kalinya ini terjadi, dan takkan jadi yang terakhir kalinya."

"Aku tau," balas Chenle.

Jeno bangkit berdiri.

"Aku pergi dulu."

"Kemana hyung?" tanya Jisung.

"Aku mau sendiri."







Jeno sudah lama tidak bertemu orang tuanya. Ia tahu mereka sibuk dengan hidupnya, tapi Jeno merasa diabaikan. Ia sangat merindukan mereka. Meski ia tidak seharusnya mengeluh seperti ini. Jaemin dan Renjun, masalah orang tua mereka lebih rumit dibandingkan dirinya. Bahkan orang tua Jisung sudah tidak ada. Ia harusnya tetap bersyukur memiliki orang tua yang mau terus mendukungnya.

Tapi, ia sering berharap orang tuanya itu seperti orang tua Chenle.

Hampir setiap hari mereka datang mengunjungi anak itu. Bahkan kadang mereka memberinya beberapa hadiah dan selalu menemaninya cuci darah.

Jeno menghela nafasnya.

Kenapa harus ia yang mengalami semua ini?

Kenapa harus temannya yang mengalami semua ini?

Sampai kapan ia harus terus berjuang?

Sampai jantungnya berhenti berdetak nantinya?







Jeno duduk di taman rumah sakit, meski kakaknya sudah melarangnya untuk pergi keluar dari kamarnya. Sudah lama sejak terakhir kali ia menghirup udara segar seperti ini.

Hanya satu keinginannya sejak ia tahu ia sakit.

Ia hanya ingin menjadi orang berguna.

Ia tidak mau mati karena sakit dan mendekam terus diatas kasurnya sepanjang hidupnya. Ia ingin menjadi orang berguna.

Ia ingin bisa melakukan sesuatu.







Jeno menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Sampai matanya tanpa sengaja menangkap seorang anak kecil yang tengah berlarian di taman. Pria itu tersenyum melihatnya. Ia menyukai anak-anak, ia menyukai kepolosan mereka. Bermain tanpa tahu waktu dan tempat, ia ingin kembali ke masa-masa itu.

Namun senyumnya menghilang ketika ia melihat sebuah sepeda motor yang nampak kehilangan kendali menerobos masuk begitu saja ke taman rumah sakit.

Dan motor itu semakin mendekati anak itu.

Anak itu masih terus bermain tanpa melihat bahaya yang datang.

Jeno menarik nafasnya.

Jantungnya berdebar kencang.







Ia hanya ingin menjadi orang berguna.

Ia ingin bisa melakukan sesuatu.







Mungkin langit telah memberinya kesempatan.







Tanpa pikir panjang, Jeno segera mendorong anak itu menjauh dari sepeda motor itu, membuat tubuhnya dihantam oleh sepeda motor itu sampai kaki dan kepalanya berdarah.









BRUK!







Jeno pun menutup matanya.

Namun ia masih tersenyum.







Langit hari itu sangat cerah.

Langit hari itu sangat cerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hospital Playlist (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang