Bab 6

1.3K 58 28
                                    

Mentari tersenyum hangat kepada sang ayah, tangannya menggenggam erat jemari pria paruh baya itu.

"Maafkan ayah," ucap Ahmad penuh sesal. Kenapa dia tidak memberitahukan kepada keluarganya lebih awal, tentang penyakit jantung yang sudah dua tahun ini menggerogoti tubuhnya. Sekarang dia malah membuat putrinya yang berkorban menanggung biaya pengobatannya. Kenapa Allah tidak membiarkan dia meninggal saja?

"Astagfirullah, kenapa aku malah berpikir begini? Seharusnya aku bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan untuk bersama istri dan anak-anakku." batin Ahmad seraya mengusap dadanya.

"Ayah kenapa? Dadanya sakit lagi?" tanya Mentari khawatir.

"Nggak apa-apa." Ahmad menepuk punggung tangan Mentari dengan lembut.

"Ayah jangan cemas dengan Mentari. Disana Mentari pasti akan hidup enak, boss ayah kan kaya raya." gurau Mentari.

Ahmad tertawa kecil, benar yang dikatakan Mentari bahwa perusahaan pasti akan menjamin kehidupan putrinya saat berada di Turki.

"Jangan lupa menelpon kami. Ibu mu pasti sangat sedih," ucap Ahmad.

"Iya ayah. Mentari pasti akan menghubungi kalian. Lagian kalau hutang kita udah lunas, Mentari pasti pulang."

Ahmad mengangguk setuju dengan kata-kata Mentari.

"Semoga aja pria itu akan melepaskan aku saat dia nggak membutuhkan aku lagi." batin Mentari.

"Jam berapa kamu berangkat?" tanya Ahmad.

"Satu jam lagi. Mentari masih mau ngobrol sama ayah."

Ceklek.

Pintu ruang rawat terbuka, terlihat Irma dan Irfan yang masuk menghampiri mereka.

"Irfan kenapa kamu belum berangkat ke sekolah?" tanya Mentari heran. Apalagi hari ini seharusnya Irfan ikut kunjungan ke museum.

"Belum mbak, aku juga mau bersama kalian disini."

Tiba-tiba Irfan menangis sesenggukan, dan memeluk ibunya.

"Cowok ngapain nangis gitu sih." celetuk Mentari, mati-matian gadis itu menahan agar tidak ikut menangis.

"Aku kan sedih kalo mbak pergi jauh. Kalau aja aku udah lulus sekolah, aku aja yang akan pergi ke sana."

Mentari tersenyum getir, lalu menarik Irfan dari pelukan ibu mereka. Mentari lalu memeluk adiknya yang memiliki tinggi badan lebih dari dirinya itu dan mengusap punggung Irfan dengan lembut.

"Tolong jaga Ayah dan Ibu kita."

Irfan semakin menangis saat mendengar ucapan dari Mentari, mungkin orang akan mengira dirinya lebay karena menangis seperti anak perempuan. Walaupun Irfan sering berdebat dengan kakaknya, tapi mereka saling menyayangi. Mentari bahkan rutin memberi uang jajan setiap bulan disaat dirinya gajian, karena itu Irfan sangat sedih saat tahu kakaknya akan pergi bekerja di Turki.

"Mentari harap kalian semua selalu sehat, ayah juga cepat pulih dan bisa segera pulang kerumah," ucap Mentari seraya tersenyum kepada satu persatu anggota keluarganya.

Ting.

Ponsel Mentari berbunyi, sebuah pesan masuk dari Revan. Mentari membuka pesan itu dengan cepat, dia tidak ingin mendengar ocehan Revan nanti.

0817******

Bayu akan menunggu didepan rumah sakit 30 menit lagi.

"Bawel..." batin Mentari.

Mentari tidak berniat membalas pesan dari Revan, lagi pula mereka akan bertemu nanti. Lebih baik Mentari fokus menghabiskan waktu yang tersisa untuk mengobrol dengan keluarganya.

15. Choice! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang