[]Part 24[]

315 40 0
                                    

Nathan berjalan lesu memasuki kelasnya. Dia melangkahkan kakinya ke arah bangkunya dan saat sampai segera duduk disana. Nathan melepaskan tasnya, menaruhnya di atas meja dan segera menumpukan kepalanya disana.

Raden yang sejak Nathan memasuki kelas memperhatikannya mengernyit heran. Tak biasanya teman sebangkunya ini terlihat lesu saat pagi-pagi.

"Nat, lo kenapa? Gak biasanya lemes gini," tanya Raden.

Nathan menguap lebar dengan matanya yang terpejam. Dia kemudian berujar, "Ngantuk banget gue. Baru tidur 3 jam doang.

"Hah? Ngapain aja semalem. Jangan bilang---"

"Gausah mikir aneh-aneh. Gue cuma keliling kota cariin Reva Jeli Kopi special," ujar Nathan memotong ucapan Raden.

"Jeli dari pabrik ××××× yang keluarnya seminggu sekali itu? Yang cuma nyediain 200 biji bukan?" tanya Raden.

Nathan menggerakan kepalanya. Mencari posisi ternyaman sebelum ia membuka mulutnya dan menjawab, "Iya itu."

Raden tertawa keras, bahkan tawanya itu mengundang tatapan murid murid yang sudah datang ke kelas. "Hahahaha. Kasian banget sih. Coba kalau lo datengnya ke rumah gue, pasti gue kasih. Kemarin gue borong sebagian besar jeli itu pas masih belum di distribusiin ke toko-toko. Orang suruhan gue cegat mobilnya."

Nathan membuka matanya. Dengan cepat dia mengangkat kepalanya dan menyorot Raden. "Hah? Emang perusahaannya ngasih gitu?" tanyanya.

Raden tersenyum bangga. "Keluarga gue bayar 3 kali lipat," ucapnya seraya menunjukan 3 jari tangannya.

Nathan melotot. Raden ini benar-benar, yah. Coba saja kalau ia tak memborong Jeli itu, Nathan pasti akan menemukan Jelinya di toko. Setidaknya 1 buah saja.

"Sultan ya gini. Sekarang lo masih punya Jelinya gak?" tanya Nathan.

Raden menganggukan kepalanya. "Ada. Tadi pagi kulkas gue masih penuh sama tu Jeli," ujarnya.

Senyum Nathan muncul, wajahnya yang tadi suram kini telah berubah menjadi cerah. Seakan ia baru saja mendapat berkah dari kayangan. Raden yang melihat saja membuat ekspresi herannya. "Den, gue beli satu biji doang boleh gak? Reva masih marah sama gue," ujarnya.

Raden mengangguk ringan. "Boleh-boleh aja sih. Lo dateng aja ke rumah gue."

"Akhirnya..." ujar Nathan seraya menghembuskan nafas leganya. Rasa kantuknya seketika hilang hanya karna ini.

"Ngomong-ngomong, Nat, Reva mana? Kok belum dateng?" tanya Raden seraya melirik kursi yang di tempati Reva.

"Dia berangkat sama Elvin. Tu anak tadi dateng ke rumah. Reva juga lagi marah sama gue, jadi dia milih berangkat sama Elvin deh," jawab Nathan.

Raden tersenyum aneh, pemuda itu menaik turunkan alisnya di hadapan Nathan. "Gak cemburu, nih?" tanyanya.

Nathan tersedak ludahnya sendiri, dia melirik Raden heran. "Lo gak salah nanya itu ke gue? Gue abangnya kalau lo lupa."

"Abang-abangan lebih tepatnya. Lo kan gak sedarah sama dia. Lo juga cerita kalau lo gak masuk kartu keluarga Reva, alias lo gak diadopsi secara resmi. Cuma numpang tinggal doang. Sabi lah kalau pacaran," ujar Raden.

Nathan melotot. "Gausah ngada-ngada, Den mana mungkin kayak gitu. Reva adek gue, gak ada yang special lebih dari itu."

Raden mendengus, teman sebangkunya ini kenapa serius seperti itu? Padahal dia hanya niat menggoda Nathan saja.

"Yaudah, yaudah. Terserah lo aja."

Disisi lain, seorang gadis dengan tas pink mungil yang bertengker di punggungnya kini tengah berjalan di sisi jalan raya dengan tangan yang sesekali terangkat menyeka keringat.

Disampingnya ada seorang pria yang tengah mendorong sebuah motor matic biru dengan wajah yang kian memerah, menahan panas dari matahari yang belum lama muncul.

"Re, kalau mau naik ojol, taksi, atau telepon temen lo gak apa-apa, kok," ujar sang pemuda.

"Gak, El. Santuy aja, gue masih sanggup buat jalan, kok," balas sang gadis dengan senyum di bibirnya.

Elvin yang mendengarnya menghela nafas gusar. Ia tak enak karna telah membuat Reva repot seperti ini.
"Maaf, yah, Re. Gue gak nyangka kalau tiba-tiba ban motor gue bocor. Sorry banget," ujarnya.

"Gapapa kali. Gue juga gak keberatan kok. Tuh, tukang tambal bannya udah keliatan," ujar Reva seraya menunjuk ke arah depan.

Elvin mengangguk singkat. Dia semakin menguatkan tenaganya untuk mendorong motornya ini.

=====

Reva memasuki kelasnya dalam keadaan kacau. Wajahnya merah, rambutnya lepek dan keringat yang membanjiri wajahnya.

Dia melangkah lunglai ke arah bangkunya. Kelasnya terlihat sangat kosong, tak ada satu orangpun disini. Hal ini terjadi karna jam istirahat sedang berlangsung. Tentu saja seluruh teman kelasnya berhamburan ke kantin atau tempat lainnya.

Reva menyandarkan punggungnya pada kursi. Diambilnya sebuah buku yang tergelak di mejanya. Dapat dipastikan kalau buku itu adalah milik teman sebangkunya. Reva menggerak-gerakan buku itu seolah itu adalah sebuah kipas.

Rasa gerah yang luar biasa ia rasakan. Padahal kelasnya ini di fasilitasi AC, namun ia sama sekali tak merasa dingin.

Suara langkah kaki terdengar memasuki kelas, namun Reva sama sekali tak peduli. Gadis itu memilih memperhatikan luar lewat jendela.

Nyess

Reva tersentak saat ia merasakan sensasi dingin yang menyentuh pipinya. Dia menoleh, melihat siapa dalang yang melakukan itu.

"Ciee yang abis dihukum," ujar orang itu.

Reva menghembuskan nafasnya, ia kira siapa. Ternyata yang datang adalah musuh nomor satunya. Dengan cepat Reva menarik minuman kaleng yang tadi menyentuh pipinya. Membukanya dan meminumnya dengan rakus.

"Cewe kok gitu minumnya? Belajar anggun kek, biar laku," ujar pemuda yang menghampiri Reva.

Reva mengelap bibirnya, setelahnya dia menoleh lagi ke arah orang itu. "Bacot, Nat. Diri gue ini," ujarnya.

Nathan mencebikan bibir bawahnya. "Bicit, Nit. Diri giwi ini."

"Nih makan. Baik banget gue bawain lo makanan. Hutang budi lo sama gue," ucap Nathan seraya menaruh keresek putih berisi sebuah cup makanan.

Reva berbinar, ia kenal keresek dan cup ini. Dengan segera dia menarik cup itu, membukanya, dan mengambil sumpit yang juga ada disana.

"Udah lama banget gue gak beli spagetinya Bu Wati," ujar Reva seraya mulai memasukan makanan itu ke dalam mulutnya.

Nathan mendengus pelan, dia kemudian mendudukan dirinya di kursi yang ada di depan Reva. "Seenggaknya bilang makasih dulu gitu sama gue. Etika Reva!" ujarnya.

Reva yang tengah mengunyah itu segera menelannya, dia kemudian menunjuk Nathan dengan sumpit yang ia pegang. "Kalau sama lo gak usah berterima kasih. Lo meresahkan soalnya," ujarnya.

"Ya, ya, ya. Btw, kenapa lo bisa telat? Abis ngapain lo sama Elvin sampe telatnya parah banget gitu," tanya Nathan.

"Ban motor si Elvin bocor. Jadi gue sama dia jalan cari kang tambal ban. Pas udah disana, gue ajak dia naek taksi, dia gak mau. Yaudah deh nungguin motornya bener lagi," balas Reva.

Nathan mangut-mangut, dia kemudian bangkit dari duduknya. Menepuk kepala Reva dengan cukup bertenaga. "Lain kali jangan telat lagi," ujarnya dan berlalu pergi keluar kelas. Entah menuju kemana, Reva tak tau dan sama sekali tak mau tau.

"Sialan! Dipikir gak sakit apa pala gue," gumam Reva.

=====

Ppiw, krisar sama votenya dong maniez😉

----------TBC----------

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang