[]Part 32[]

303 33 1
                                    

Kirana menahan satu buah koper hitam yang terlihat siap untuk di bawa. Sorot matanya yang terlihat sedang memohon itu ia arahkan pada Nathan yang berdiri tepat di depannya. "Masa sih mau pindah? Bilang bohong dong, Nat. Masa mau tinggalin mama, sih?" ucapnya.

"Gak ninggalin, Nathan cuma mau tempatin rumah Nathan aja, mah. Lagian Nathan udah gede, mau lebih mandiri. Nathan bakalan sering-sering mampir ke sini juga. Janji, deh," ucap Nathan seraya berusaha menggapai kopernya yang masih ditahan Kirana.

"Aduh, di sini aja atuh, Nat. Rumah kamu kan udah dirawat bi Arum sama Pak Beni," tutur Kirana yang masih berusaha membujuk Nathan agar tak meninggalkan rumah.

Nathan menghela nafasnya, kemudian dia melengkungkan senyumnya pada sosok Kirana. Tangan kanannya terulur dan menyentuh punggung tangan Kirana yang memegang gagang kopernya. Tatapannya melembut, kemudian mulutnya terbuka dan ia berujar, "Ma, ijinin Nathan pergi, yah? Nathan gak pindah dunia kok, cuma pindah perumahan aja. Kita masih se kota. Nathan janji bakalan sering ke sini, Nathan gak akan lupa sama Mama, Papa, Reva juga. Makasih loh udah ijinin Nathan tinggal di sini. Makasih waktu itu mama tawarin Nathan buat jadi keluarga ini. Serius, keluarga ini bener-bener menyenangkan. Gak boong, deh. Makasih udah penuhin kebutuhan hidup Nathan dan kasih Nathan kasih sayang. Mulai besok, bilang papa gak usah transfer uang jajan bulanan lagi, yah? Nathan udah kerja, kok. Warisan yang ditinggalin orang tua Nathan juga masih banyak, cukup buat kebutuhan Nathan. Jadi, mama mau lepasin Nathan buat mandiri, kan?"

Mendengar penuturan Nathan, mata Kirana tak berkedip sama sekali, dia hanya menatap wajah Nathan dengan mata yang berkaca-kaca. Kirana kemudian melepaskan tangannya dari tangan Nathan, wanita itu berjinjit dan mengelus rambut Nathan. "Iya, mama ijinin kamu. Baik-baik disana, jangan repotin bi arum, apalagi jailin dia. Eh, tapi gak mungkin sih kamu begitu. Walaupun kamu gak tinggal di sini lagi, mama tetep titip Reva ke kamu, yah. Di sekolah maksudnya. Tetep anggap dia adik kamu. Aduh, sedih banget mama," ucapnya.

Nathan tertawa, dia kemudian meraih kopernya yang telah bebas dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kananya meraih tangan Kirana dan segera ia cium. Tanda bahwa ia akan pamit. Air mata Kirana luruh, serius, walau Nathan pergi gak jauh-jauh amat, tapi rasanya Kirana kehilangan banget. "Hati-hati Nathan," ucapnya.

Nathan melambaikan tangannya. "Siap," ucapnya. Sebelum benar-benar berbalik, Nathan menyempatkan diri menengok ke dalam rumahnya. Disana, sekitar 3 meter dari pintu utama, sosok Reva terlihat di matanya. Gadis yang tengah berdiri kaku dengan tatapan datar yang menyorot lurus padanya. Nathan tersenyum ke arahnya, tangannya juga ia lambaikan ke arah Reva. Sesaat setelahnya Nathan berbalik dan berjalan menuju gerbang, dimana di depan gerbang itu sudah ada taksi yang sebelumnya ia pesan. Ia jadi tak enak karna membuat supir taksi itu menunggunya sangat lama. Untuk motornya, ia sudah memindahkannya kemarin.

Di sisi lain, sesaat setelah ia melihat sosok yang ia musuhi berbalik seraya menyeret sebuah koper hitam, dirinya segera berbalik arah. Berlari ke arah tangga dan langsung menerobos masuk ke kamarnya. Dengan semangat ia melompat ke arah kasurnya, meloncat-loncat disana dengan ekspresi yang sangat bahagia. Kedua tangannya terangkat ke udara, kemudian dia bersorak seakan baru saja menonton tim sepak bola favoritnya yang mencetak gol. "SENENG! SENENG! SENENG! WUHUW! KEBAHAGIAN MACAM INI? ADUH, BERDOSA BANGET GUE," teriaknya penuh semangat. Tak peduli kalau ibunya akan mendengar dan ia dimarahi sekalipun.

Reva, gadis itu terus saja meloncat-loncat di atas kasur, menghiraukan kalau kondisi tempat tidurnya yang saat ini sangat berantakan. Ia hanya ingin merayakan kebahagiannya saja. Ya, hanya itu. Bibirnya terus tersenyum seraya menggumamkan kata 'seneng' beberapa kali.

Beberapa menit ia seperti itu, hingga akhirnya Reva selesai dengan acara loncat-loncatnya. Gadis itu merebahkan dirinya, tangan kirinya ia gunakan sebagai bantalan untuk kepalanya, sedangkan tangan kanannya terulur ke atas, seakan ia sedang berusaha untuk menggapai langit-langit kamarnya. Nafasnya yang tak beraturan kini mengisi suasana hening yang melingkupi ruangan ini. Sekelebat bayangan wajah Nathan seketika muncul dalam otaknya, membuat Reva mengerutkan keningnya. Tepat setelah itu, perasaan hampa hadir dalam hati Reva, membuat gadis itu langsung terbangun dan segera duduk. Tangannya ia arahkan pada dadanya. "Kok aneh? Gue seneng banget tapi kok rasanya ada yang... Aduh, apa ini teh namanya? Argh, jelek banget perasaan gue. Tapi, kan gue lagi seneng. Emang perasaan seneng sekarang kayak gini, yah? Kok gak enak?" ucapnya seorang diri.

Lama Reva berfikir, hingga gadis itu mulai menggelengkan kepalanya dan merebahkan dirinya kembali. Berusaha untuk tidak peduli akan apa yang ia rasakan saat ini.

=====

Pemuda berhoody maroon yang tengah menyeret koper hitam terlihat tengah mendorong sebuah pintu besar dihadapannya. Setelah pintu itu terbuka, kakinya mulai ia langkahkan ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum," ucapnya.

Tak lama terdengar langkah kaki yang menuju ke arah pemuda itu. Seorang wanita yang sudah berumur tampak berjalan terburu-buru menghampiri sang pemuda. "Waalaikumssalam. Eh, aden udah sampai. Sini kopernya Bibi bawain," ucap wanita itu seraya menggapai koper yang pemuda tadi bawa.

"Gausah, Bi, aku aja. Kamar aku udah siap, kan, Bi?" ucap sang pemuda .

Wanita berumur itu mengangguk, tangannya yang masih terulur ke arah koper, ia turunkan. Sebuah senyum terukir di wajahnya yang sudah mulai keriput itu. "Sudah, den. Kamarnya sudah bibi siapkan, makan siangnya juga sudah jadi. Kalau den Nathan mau makan, silahkan, den," ucapnya.

"Aku mandi dulu deh, Bi, makannya nanti aja," ucap Nathan. "Aku ke atas, yah," lanjutnya yang diangguki wanita itu.

Selesai berbincang dengan wanita tua yang selama ini mengurus rumahnya, Nathan segera berjalan menuju tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua di rumahnya.

Saat sampai di pintu kamarnya, Nathan tak langsung membukanya. Pemuda itu terdiam di depan pintu seraya memandang pintu itu.

"Nathan, jangan lari-larian masuk kamarnya."

"Nathan jangan lupa langsung tidur."

"Taraa! Papa bawain hadiah buat kamu."

"Mama juga bawain, nih. Selamat ulang tahun sayang."

"Sayang, jangan ngambek dong. Ayo buka pintunya, mama sama papa sedih, nih. Kami cuma tiga hari sayang di Amerikanya. Ayo buka, yuk, jangan ngambekan. Nathan kan cowo, buka sayang."

Nathan tersenyum kecil saat kenangan-kenangan masa kecilnya dengan kedua orang tuanya terputar jelas di otaknya. Suara itu, suara orang tua kandungnya seakan terdengar nyata di kedua telinganya. Secara tiba-tiba rasa rindunya memuncak, ia sangat merindukan saat-saat kecilnya yang ia habiskan dengan orang tuanya.

Nathan menengadahkan kepalanya, menahan agar bulir air matanya tak ia jatuhkan. Menghembuskan nafasnya, Nathan segera meraih gagang pintu kamarnya, membuka pintu itu dan segera memasuki kamarnya. Tak lupa, ia juga kembali menutup pintu itu.

Nathan berjalan menuju tempat tidurnya, dia kemudian mendudukan dirinya di atas kasur yang sudah lama tak ia tempati. Kasurnya masih sama dengan saat terakhir kali ia tiduri saat ia masih berumur 14 tahun. Ya, selama Nathan tinggal bersama Kirana dan keluarga, pemuda itu sama sekali tak pernah tidur di rumahnya. Dulu, ia tak berani untuk sekedar datang ke rumah ini. Paling kalau ia datang ya pasti bersama Kirana atau Mahes, atau keduanya.

=====

Wuhuwww. Krisar+votenya, miniez!

----------TBC----------

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang