Reva memperhatikan jam tangan yang melingkar di lengan kirinya dalam posisi terlentang. Waktu menunjukan pukul 5 sore hari. Kedua orang tuanya sudah pergi ke rumah Vivi untuk menghadiri acara pertunangan Vivi dan Nathan.
Acaranya akan digelar pukul 8 malam, maka dari itu dia masih dirumah dan santai-santai. Rumah Vivi tak terlalu jauh dari rumahnya, jadi ia masih memiliki sedikit waktu untuk rebahan sebelum ia mandi dan bersiap-siap.
Reva memandangi langit-langit kamarnya dalam diam. Sejak siang, perasaannya sudah tak enak dan membuatnya resah sendiri. Padahal tak akan ada ujian sekolah atau raksasa rumus fisika yang akan menghampirinya, ah, ini membuatnya kebingungan.
Lama sudah gadis pemilik nama Andara Reva itu memperhatikan langit-langit kamar tanpa memiliki maksud yang jelas, kini ia mulai bangkit dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Sepertinya ia memang sudah harus bersiap-siap, sebelum ia telat datang dan diceramahi banyak kenalannya. Tak baik!
Reva kini telah keluar dari kamar mandi, gadis itu berjalan menuju lemari pakaiannya, mengambil dress berwarna biru tua yang baru saja ia beli 2 hari lalu.
Beberapa menit--ah, bukan, satu jam lebih sudah Reva habiskan waktunya untuk mempersiapkan pakaian, riasan wajah, dan menata rambutnya, kini, gadis itu sudah siap untuk berangkat ke rumah sahabatnya itu.
Sekali lagi, Reva memandangi wajahnya sendiri di depan cermin riasnya, memperhatikan hasil make up sederhana yang ia aplikasikan pada wajahnya itu. Reva terdiam, tenggelam menatap pantulan matanya sendiri.
3 detik...
4 detik...
6 detik...
"Loh... Air..."
Reva yang melihat air matanya secara tiba-tiba mengalir begitu saja mengangkat tangannya dan menyentuh aliran sungai kecil yang terbentuk di pipinya itu. Tak mengusap, gadis itu hanya diam dan membiarkan air matanya mengalir begitu saja dengan deras. Serius, Reva tak tau mengapa ia tiba-tiba menangis seperti ini.
"Sakit? Eh, apa? Nangis? Hah?" gumam Reva terdengar lemah dan sama sekali tak jelas.
Reva menengadahkan kepalanya, berusaha menghentikan aliran air matanya yang sama sekali tak mau berhenti itu. Reva memejamkan matanya, menarik nafasnya dengan teratur guna merilekskan dirinya sendiri.
Merasa pegal, Reva kini kembali menghadapkan wajahnya pada cermin. Hanya seperkian detik saja, karna selanjutnya dirinya memilih mendunduk-- ah, tidak, menempelkan keningnya pada meja riasnya. Reva menggerakan tangan kananya, memposisikan tangan itu tepat di dadanya. "Aneh banget gue," gumamnya. "Berang--"
BRAKKK
"Sampe kapan lo mau bohongin diri lo sendiri?!"
Reva tersentak dan langsung duduk tegak saat pintu kamarnya didobrak kasar. Ditambah pertanyaan dingin nan sinis mengudara tepat setelah pintu terbuka.
Sosok pria dengan tuxedo hitam berjalan cepat menghampiri Reva. Suasana kamar yang sunyi, membuat suara sepatu dari langkah kaki pria itu terdengar begitu jelas.
Reva memperhatikan pria yang tengah berjalan itu seraya menaikan satu alisnya tak mengerti. Apa maksudnya? Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang memenuhi kepala gadis itu.
"Sadar! Lo udah gede, tanya hati lo! Kalau suka, bilang! Gue gak mau 3 temen gue gak bahagia. Apalagi karna satu hal yang sama," ucap pria itu lagi.
"Ndra, lo... maksud lo apa? Lo kebentur tembok apa gimana, Andra?" tanya Reva tak mengerti.
Andra menyorot Reva dengan tatapan dinginya, telunjuk tangan kanannya ia arahkan pada Reva. Tak tanggung-tanggung, tepat ke arah muka gadis itu. "Lo suka Nathan! Bukan, tapi, cinta dia!" ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAMA [COMPLETED]
Teen FictionBagi Reva, Nathan adalah Hama. Bagi Reva, kakak angkatnya itu adalah makhluk paling meresahkan yang pernah ia temui. Dan bagi Reva, hidup tanpa Nathan adalah impian jangka panjangnya. Bagi Nathan, Reva adalah adik yang sangat menggemaskan. Saking me...