.
.
.DI DEPAN tong sampah, seorang gadis berkulit pucat tengah menggenggam sesuatu dengan tangan yang bergetar.
Tadi pagi, dua polisi mendatangi kediamannya. Seseorang telah melaporkannya atas tuduhan pembunuhan.
Perasaannya saat ini tak bisa diutarakan. Rasa takut, merasa bersalah dan marah bercampur menjadi satu.
Tangannya semakin bergetar. Ingatan tentang peristiwa kematian Fikri, membuatnya tambah frustasi.
"Tenang, Alena. Apapun kondisinya, Lo pasti aman. Lo gak salah, ini ketidaksengajaan!" gumamnya sesekali menggigit bibir.
Alena memandang baju yang sedari tadi ia genggam. Baju putih dengan bercak darah disekitarnya. "Gue gak salah. Gue gak sengaja ngebunuh Fikri... Hiks hiks."
Tangisannya semakin menjadi. Rasa cemas sekaligus bersalah menyelimutinya. Jika baju ini ditemukan polisi, bisa dipastikan Ia akan ditetapkan sebagai tersangka. DNA pada darah yang terciprat di baju ini, akan menjadi bukti yang kuat kalau Alena, ada saat Fikri terbunuh malam itu.
Dua hari lagi akan diadakan sidang. Malam ini, Alena berencana untuk menghilangkan semua bukti yang bisa menjebloskan dirinya ke penjara.
Termasuk baju ini, sudah hampir dua minggu ia simpan di bagasi mobil. Ia tidak berani memindahkannya. Inilah sebabnya kenapa Alena pada saat malam itu sangat panik ketika petugas polisi yang akan memindahkan mobilnya. Tapi untung saja, tidak ada yang menemukan bukti ini.
Berkali-kali ia mengatur nafas agar merasa lebih tenang. Ia jatuhkan baju putih kesayangannya itu pada tong sampah. Tangannya merogoh korek api dari dalam kantong celana.
"Dengan begini, gue pasti aman." ucapnya, perlahan melempar batang korek berselimut api itu ke dalam tong sampah.
Tak mau berlama-lama karna takut dicurigai warga sekitar, Alena kembali masuk ke dalam rumah. Bukti yang mengarah padanya sudah lenyap, di sidang nanti ia sudah dipastikan akan menang. Setelah itu, Alena berencana untuk menuntut Nesya dengan tuduhan pencemaran nama baik.
"Nes, Lo bakal nyesel udah ngajak gue main api." batinnya.
¢•¢•¢
Keesokan harinya.
Di ruang kelas yang cukup ramai, seperti biasa Graziell dan teman-temannya berkumpul di satu meja.
Jika kemarin-kemarin mereka isi dengan percakapan random, hari ini berbeda. Mereka berekspresi cemas, menenangkan Alena yang tengah bercerita, bahwa Nesya telah melaporkannya kepada polisi.
"Besok gue sidang, tapi gue udah gugup dari sekarang."
"Al, jangan khawatir. Lo pasti baik-baik aja." Kata Ferannisa tersenyum. Meski sebenarnya ia juga cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENZIELL
Teen Fiction"Dasar kulkas!" "Berenti manggil gue kulkas!" "Kak Kenzie gada bedanya kayak kulkas, dingin." "Kulkas dingin? Sok tau." "Kulkas kan emang dingin!" "Kalo mati lampu?" Gadis itu mengerucutkan bibirnya kesal. "Terus kapan mati lampu? Biar gak dingin l...