《《Tiba-tiba datang anak laki-laki yang menengahi kami《《
"Hei gadis-gadis mohon tenang!" Ucapnya.
Ica langsung terdiam dan merapikan rambutnya. Dia bicara dengan terbata-bata pada anak lelaki itu.
"Eh Re..Re..van" ucap Ica terbata-bata.
"Ngapain ribut disini? Masih pake seragam pula. Malu-maluin sekolah!!" Tanya anak lelaki itu.
"Aku hanya gak suka sama dia" gerutu Ica.
"Heh Nona yang namanya Faricha Primandani, aku gak ngerti alasanmu tapi mending ngaca dulu gih! Lo gak malu? Ngajak ribut orang didepan umum pake seragam?" Ucap anak itu.
"Re..Revan.. aku gak maksud begitu.. tapi dia yang mulai duluan.. iiih.." jawab Ica sambil didorong anak itu untuk pergi.
Ica menurut saja dan pergi dengan ngedumel gak jelas. Aku merapikan rambutku, dan meminta maaf pada orang-orang yang sedang berkerumun. Aku lega karena pemilik Bimbel tidak menonton kejadian ini.
Sejenak aku lupa anak tadi masih disini memunguti selebaranku yang berceceran.
"Oh sudah.. biar saya yang pungut semua. Terimakasih bantuannya." Ucapku.
"Kenalin Revan. Gue gak suka sama orang yang sok tegar kayak Lu." Ucapnya memperkenalkan diri sambil mengataiku.
Aku menatapnya, bertanya-tanya maksud ucapannya itu.
"Ah maksudku lu kenapa gak nangis aja? Biar orang-orang bantuin lu. Malah minta maaf." Jelasnya.
"Oh gapapa" jawabku.
"Maaf ya jadi ngerepotin kamu, dan terimakasih juga sudah menolong." Lanjutku dan kembali berkeliling membagikan selebaran."Hei tunguu.. namaku Revan. Kamu?". Ucapnya memperkenalkan diri.
"Yuri" kataku singkat.
"Sekolah dimana?" Tanyanya.
"Udah minggir aku masih kerja" ucapku kesal karena dia ngikuti terus.
"Woi anak bandel!!!" (teriak seseorang sambil menjewer telinga Revan)
Tiba-tiba Revan dijewer dan diseret masuk ke lembaga bimbingan belajar didepan tempatku membagikan selebaran. Revan hanya melambaikan tangan sambil menjerit kesakitan. Setelah itu aku segera menghabiskan selebaran dan mengambil upah.
Usai mendapatkan upah aku malah jadi lesu. Sebenarnya aku juga ingin belajar di lembaga bimbingan seperti anak-anak yang lain. Tapi karena aku harus mengumpulkan uang jadi aku harus mengurungkan niat ini.
Setibanya dikosan
aku berbaring dan menatap langit-langit kamar. Aku melamunkan ucapan Ica tadi tentang keluargaku, keluargaku yang pernah harmonis dulu, sampai akhirnya aku berafa disini sendiri. "Apa iya aku anak pembawa sial?" Gumamku.****

KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Young
RomansaMejaku terlihat penuh dengan sampah, aku hanya diam dan memunguti sampah itu. Sebenarnya kalau aku mau aku bisa saja mematahkan kaki atau tangannya atau bahkan lehernya. Hanya saja aku tak ingin menodai sabuk hitamku hanya untuk hal ini. ... "Lo itu...