14 : : WHERE IS MY FRIEND?

65 11 3
                                    

Seseorang yang sulit didekati. Bahkan ia sendiri tidak mengerti dengan perasaan rumit yang ia miliki.

One Gift for Alvan

...

Dan pada akhirnya beginilah nasib seorang Alvan sekarang ....

Ah, tidak. Adam menggeleng pelan, diliriknya kiri kanan dengan tajam seraya mendengkus kesal. Ya, beginilah nasib seorang Adam sekarang. Dirinya menjadi penengah antara Nial dan Alvan. Tidak cukup itu, kenapa suasana jomlo seperti ini terasa menyiksa?

Lihatlah, begitu banyak barisan yang mengantri untuk memberi sumbangan buku pada Nial dan Alvan. Mulai dari adik kelas yang tampak menahan kegirangan melihat sorot mata tidak peduli Alvan begitu juga kakak kelas yang seakan luluh melihat sorot tegas dari Nial. Sementara dirinya?

Tidak, Adam menggeleng pelan. Bahkan di antara kotak yang berads di meja yang panjang ini hanya kotak miliknyalah yang belum terisi dan bahkan belum memiliki antrian sama sekali. Menyedihkan, sungguh menyedihkan.

Apa dirinya harus berubah menjadi si dingin Alvan? Ataukah seperti kang pencari ribut si Nial?

Demi apa, hanya untuk membayangkannya saja Adam tidak sanggup sekarang. Lebih baik dirinya tertawa seperti orang gila dibandingkan harus mati dengan wajah tertekuk dan serius seperti itu.

"Adam!"

Adam tersentak, menoleh seketika. Dipandangnya Via yang membawa beberapa makanan dan minuman dingin setelah melewati lapangan yang cukup terik. "Itu, tadi ada yang cari kamu. Kayaknya sih mau nyumbang buku juga. Cuma yah ... gitu deh."

"Hah?" Kini Adam menoleh ke arah jari telunjuk lentik itu. Seorang gadis dengan ikatan rambut setengah dan pita sebagai peghias. Wajah yang tadinya sempat melihat ke arah koridor bawah tangga ini sontak saja langsung mengalihkan pandangan saat bertabrakan dengan Adam. "Cuma apa?"

Kedua sudut bibir Via terkulum, laku mengangkat kedua babu dengan malu. "Ya, gitu."

"Enggak jelas lo ah," gerutu Adam. Tanpa basa-basi lagi dikeluarkannya makanan dan minuman dari kantong lalu meletakannya ke meja Nial dan Alvan.

Nial, yang sedang fokus menentukan jenis buku itu kini menoleh sejenak tersenyum. "Thanks, Vi."

Sementara Alvan? Ah, Adam mengembus napas jengah. Diraihnya buku kepada para gadis yang mengantri di sana dan nihil hanya Alvan seorang yang mereka lihat. Via tertawa pelan, Adam ditolak mentah-mentah.

Alvan yang memasukkan beberapa tumpuk buku di kotak kini memerhatikan sterofoam plastik itu sejenak lalu menjauhikan dari pandangan. "Makasih, tapi untuk lo aja. Gue kenyang."

"Ambil aja kali Van, ribet amat lo. Kayak asing aja sama kita-kita," ucap Adam langsung. Merasa nganggur, secepat mungkin Adam menyeret satu dus besar yang sudah penuh lalu menarik isolasi. "Lo santai aja. Anggap gue, Via, sama Nial kayak keluarga lo, sahabat-sahabat lo."

Keluarga, sahabat ....

Alvan menoleh sesaat. Pandangan itu terhenti pada tiga orang di sampingnya sebelum kembali melanjutkan mendata dan menerima buku dari beberapa mahasiswa di fakultas.

Mustahil. Alvan menggeleng pelan. Bagaimanapun hangat dan indah kedua kata itu, namun yang pasti dirinya tidak akan terjatuh di lubang yang sama lagi sekarang.

ATSFN SERIES : One Gift for AlvanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang