4 : : FRIENDS & FAMILY

1.4K 169 10
                                    

Terkadang gue berharap apa yang ada di dalam mimpi gue itu menjadi kenyataan, dan begitu juga sebaliknya

~One Gift for Alvan~

...

Mereka bilang mimpi adalah bunga tidur, mimpi adalah suatu hal yang menyenangkan dimana kita bisa memutar kenangan bahkan mengukirnya walaupun tidak begitu nyata.

Itulah yang terjadi pada Alvan, cowok berwajah tirus itu masih terlelap di tempat tidurnya, bahkan kemeja biru tua yang ia kenakan semalam masih saja melekat pada tubuhnya. Ya, seorang Alvaranda Manathan tampaknya benar-benar mengikuti apa yang ia inginkan, mengurung di dalam kamar seharian tanpa ada niat sekalipun untuk keluar dari dalam sana.

"Yosh Van!"

Sontak Alvan menoleh, memperhatikan makhluk berisik yang baru saja menepuk punggungnya dengan-sangat-kencang. Kedua mata bundar itu mengerjap pelan, menatap sekelilingnya tidak percaya.

Kursi kayu, papan tulis, jam dinding, papan jadwal piket. Ini di kelas?

"Kenapa lo?" tanya Hendra, menurunkan sebelah tangannya dari punggung Alvan, lalu mendaratkan tubuhnya, duduk di atas kursi kayu kelas.

"Hendra," gumam Alvan pelan, mendadak saja wajah yang tadinya bingung berubah menjadi girang. Kedua sudut bibir Alvan terangkat puas, seraya menepuk kedua pipi sahabatnya itu dengan kencang. "Lo Hendra!"

"Woi! Sakit!" erang Hendra, menepis kedua tangan Alvan. Alvan menyengir, mendaratkan satu jitakan pelan di kepala Hendra. Hendra menyipit tajam. "Ya Hendra lah! Udah lupa lo sama gue?!"

"Enggak bakal," tekan Alvan, menggeleng, memperhatikan sahabatnya itu dengan sungguh-sungguh. "Gue enggak bakal bisa ngelupain orang-orang yang berharga dihidup gue."

Sontak, Alvan membuka mata, berusaha mungkin mengatur napasnya terengah-engah. Diletakkan sebelah lengan ke atas dahinya seraya menatap langit-langit kamar. Perlahan seulas senyum terukir dari sudut bibirnya.

Kelas? Sahabat? Ingin rasanya ia bergegas menuju sekolah sekarang!

Secepat mungkin Alvan bangkit dari tempat tidurnya, diraihnya handuk di belakang pintu dengan senang. Entahlah untuk pagi ini dirinya merasa tenang, tidak ada beban, dan percayalah rasa ini jauh lebih menyenangkan.

Alvan tersenyum puas, membuka lemarinya. Mendadak saja senyum itu luntur seketika begitu melihat isi dari dalam. Tidak ada seragam putih abu-abu, topi upacara, dan dasi sekolahnya. Yang ada malah baju-baju kemeja, celana hitam, dan jeans.

"Sial," gumam Alvan, menggertak giginya dengan geram, pandangan yang tadinya tampak senang kini berubah menjadi datar dan tajam. Lagi-lagi ada sensasi yang tidak menyenangkan dari tubuhnya, entahlah rasanya seperti beban dan...

Sungguh-sungguh melelahkan.

Alvan mengacak rambutnya kesal, memandang kaca lemari dengan datar. Sungguh ia sudah tidak mengenal dirinya lagi yang sekarang, si datar, hemat berbicara, dan jika ada orang yang berani mengganggunya... siap-siaplah, tak perlu segan menyegan untuk membentak orang itu.

Alvan melangkah gontai, meraih handphone-nya di atas tempat tidur sejenak lalu membuka chat yang ia kirim semalam. Hanya sebuah sapaan selamat malam dan apa kabar yang ia kirim untuk tiga sahabat dan kembarannya. Tapi, tak ada satupun dari mereka yang menjawabnya.

Jangankan menjawab, membaca saja tidak. Hebat sekali.

"Gue enggak bakal bisa ngelupain orang-orang yang berharga dihidup gue."

Ya, ia memang tidak bisa melupakan ke empat orang berharga yang pernah mengisi masa-masa sekolahnya, berusaha mungkin ia tetap melakukan komunikasi dengan ke empat orang itu. Tapi pada akhirnya? Lihat saja sendiri.

Bukan hanya sekali ia mengirim pesan-pesan ini, tapi sudah sering kali dan tidak ada jawaban sama sekali. Pernah waktu setengah tahun yang lalu, saat ia mengirim pesan untuk Hendra, cowok itu membacanya, ya sudah dibaca namun tidak ada balasan.

Apa itu namanya sahabat?

Berjanji untuk tidak saling meninggalkan, dan berjanji untuk tidak saling melupakan?

Tak ingin berlarut-larut dalam pikiran anehnya, Alvan melempar handphone-nya ke atas ranjang kembali, lalu menuju ke dalam kamar mandi.

___


Dua puluh menit berlalu, barulah pemilik pintu kamar berlantai dua itu terbuka. Alvan keluar dari kamar dengan kemeja abu-abunya, meniti turun satu persatu anak tangga dengan malas.

Sepi?

Tidak, dari lantai bawah tampak seperti biasa, ada papa dan mama. Papa tengah duduk di ruang makan seraya membaca korannya dan mama tengah menyiapkan sarapan pagi untuk papa.

Alvan menghembus napas panjang, tanpa ada sedikitpun niat kakinya melangkah ke dalam ruangan itu.

"Alvan! Sarapan!"

Langkah Alvan terhenti seketika, kedua tangannya tergepal erat, menoleh ke arah ruang makan. Papa, pria itu lagi-lagi berbicara dengan nada tinggi padanya. Menyebalkan.

Dengan setengah hati, Alvan menuju ruang makan, duduk di seberang papa. Diambilnya nasi sedikit dan lauk pauk seadanya. Ia sebenarnya bukan tidak lapar, perutnya memang sedang sangat lapar, dari sore hingga pagi belum sedikitpun ia masukan makanan. Tapi, jika dalam situasi seperti ini entahlah malah membuatnya semakin malas, duduk diam di ruang makan dan hanya mendengar suara sindiran ataupun-untuk kesekian kalinya-berbicara tentang pekerjaan.

Lagi-lagi pekerjaan.

Pekerjaan, pekerjaan dan pekerjaan.

Hidup hanya untuk bekerja, jika sampai di rumah hanya membicarakan keluh kesah tentang pekerjaan, hingga melupakan bahwa sebenarnya ada kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang tengah menunggunya.

"Papa sama mama sibuk, kamu sudah besar, seharusnya enggak perlu sampai papa suruh makan."

Alvan tersenyum sinis, seraya menelan makanannya. Dirinya sama sekali enggan menanggapi ucapan papa. Yang ia tahu sekarang hanyalah...

Semua orang sibuk, dan na'as hanya tersisa dirinya yang senantiasa berpura-pura sibuk. 

___

19. 11. 17

Bingung mau AN apaan wkwk...

Thanks for reading, i hope you enjoy it! ^^

ATSFN SERIES : One Gift for AlvanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang