12 : : GROWTH

183 14 10
                                    

Aku yang dulu polos kini telah bertumbuh dewasa dan jujur saja, masih saja tidak mengerti dengan apa yang harus dilakukan.

-One Gift for Alvan-

...

"Mau ikutan?"

Mata yang sedari setengah jam lalu bergerak kiri kanan kini terhenti seketika. Ditatapnya jam putih yang berada di dinding dapur seraya memerhatikan jarum jam yang telah menunjukkan angka tiga.

Ya, ini bukan tiga sore, tapi tiga pagi dan bodohnya dirinya tidak bisa tidur setelah semalaman mengerjakan tugas yang tiada habis sedari tadi.

Mendadak bayaangan deretan anak-anak tadi melintasi pikirannya. Untuk pertama kalinya, dirinya seorang Alvan merasakan betapa menyenangkannya di sebuah lingkungan penuh dengan penerimaan. Tidak ada tatapan merendahkan, senyuman sinis yang merendahkan, serta mencoba dekat hanya untuk memanfaatkannya.

Sorot mata anak-anak itu tulus, dirinya merasa berguna meskipun hanya sedikit saja rasa itu dapat ia rasakan. Ya, bagaimanapun juga dirinya bukan Alvan yang baik bukan?

Dirinya tidaklah seperti Alvin yang cerdas dalam menghadapi pelajaran kehidupan. Dirinya masih kekanak-kanakan dan menuntut kasih sayang dari keluarga seperti anak-anak.

Bodoh, padahal tidak seharusnya ia melakukan itu. Tapi mau bagaimana? Dirinya membutuhkan itu? Dirinya membutuhkan Papa atau Mama yang mau mendengarkan ceritanya sebentar saja, dirinya ingin kedua orang itu memberikannya begitu banyak jalan dan sudut pandang agar tidak tersesat seperti sekarang.

Pasif, kurang dapat menghargai diri sendiri, dan begitu cepat hancur hanya karena suatu hal kecil.

Mau jadi apa dirinya nanti?

Manusia yang menyusahkan orang lain?

Kemana pergi dirinya yang seperti sekolah dulu?

Berani dan tegas mengambil keputusan.

Pintar dan mudah menguasai materi pelajaran.

Dan hal penting adalah menjadi unggulan, dimana saja. Bukan seperti sekarang hanya beberapa adik tingkat kurang kerjaan yang hanya doyan melihat wajah tirusnya.

"Huff..." Gelas susu dihentak ke meja makan. Dari dapur yang terlihat remang itu Alvan memejamkan mata, meluruskan kaki hingga mencapai kursi di seberang lalu mengembus napas panjang begitu rasa pusing menghantam bagian kepalanya begitu kuat.

Setengah malas, Alvan meraih hp di keja lalu menggeser kunci pola berbentuk bintang pada layar.

Nomor tidak dikenal
Van, beberapa hari lagi kita ada program baru sama anak-anak. Kalau kamu mau ikutan, kita bakal pergi sama-sama.

Pesan yang berapa jam lalu dibiarkannya tanpa terbuka. Via. Ya, paling-paling jika dugaannya salah maka pemilik nomor tidak dikenal itu adalah Adam dan Nial.

Perlahan Alvin tersenyum sinis, tanpa membalas pesan seberang, dilemparnya hp ke meja dengan lemah lalu memejamkan mata, larut dalam mimpinya.

Bagaimanapun juga dirinya tidak akan lagi percaya akan hubungan yang bernama sahabat dan laiinnya.

___

ATSFN SERIES : One Gift for AlvanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang