Brakk!!
Alat-alat band diletakkan dengan kasar di ruang musik. Drum, hitar, keyboard, tak ada yang diletakkan dengan baik. Seperti ingin dibanting saja rasanya alat-alat musik itu.
"Sini,"
Via yang baru saja berada di ambang pintu ruangan musik, mengerjap heran, memperhatikan ekspresi Nial yang berbicara datar dengannya.
Belum sempat Via menyodorkan, Nial langsung saja merampas snare drum di tangan Via dengan kasar dan Via benar-benar yakin ia merasakan hawa-hawa tidak enak dari cowok itu semenjak turun panggung tadi.
Brakk!
Barang diletakkan lagi dengan kasar. Via sudah dipastikan menoleh ke arah Nial, tapi sekarang? Bukan hanya dirinya, Adam yang sedari tadi sibuk menata letak barang-barang di dalam ruang musik itu menoleh ke belakang memperhatikan Nial sekilas.
"Lo kenapa dah Yal?" tanya Adam.
Nial diam, enggan menjawab. Cowok itu keluar masuk dalam rungan berkedap suara ini, sambil mengambil barang dari luar.
"Mulai dah kayak cewek PMS," gerutu Adam pelan. Meletakkan kain kotor di atas speaker yang baru saja usai ia gunakan untuk membersihkan peralatan musik di dalam sana.
"Adam," panggil Via. Mengambil sebotol mineral di kantong hitam ia gantungkan di lengan. Lalu menyodorkannya ke arah Adam.
Adam tertawa pelan, mengambil botol dari tangan Via. "Thanks tante, lo paling pengertian dah. Cocok kali ya gue jadiin calon istri."
"Enggak mau," jawab Via langsung, menjulurkan lidah. Lalu mendaratkan tubuhnya di atas karpet berwarna biru begitu juga Adam.
Inilah kegiatan dirinya, Adam, dan Nial di kampus. Duduk bersama, latihan band, meskipun tak dapat dipungkiri diantara mereka bertiga pasti pernah bertengkar antar satu sama lain.
Ya, contohnya saja seperti saat ini.
Tak ada angin, tak ada ribut. Sehabis panggung tadi Nial tampak uring-uringan, berbicara datar, begitu juga dengan raut wajahnya. Dan jika ditanya kenapa tentu cowok itu tidak akan menjawab, dan bila memaksa...
Siap-siaplah untuk mendapat bogem mentah dari cowok itu. Dan biasanya, Adamlah yang menjadi langganannya.
Adam yang dari tadi mencoba menyeka keringat dengan lengan kemejanya, kini menoleh, memperhatikan Via di sampingnya.
"Nial enggak usah dipikirin dulu, nanti juga baikkan sendiri."
"Nial itu perfectionist, sama kayak kamu. Cuma bedanya kamu di pelajaran, dan dia dalam urusan band. Aku takut ada buat salah selama panggung tadi."
"Yah..." Adam masem-masem. Meneguk air di botolnya kembali. Lalu mengacak belakang kepalanya. Ragu. "Gue rasa memang ada."
Via menoleh, memiringka kepalanya, bingung. "Ada? Yang mana?"
"Pertengahan lagu, lo mulai enggak fokus. Jujur, gue sama Nial agak kesulitan tadi," jawab Adam jujur.
Pertengahan lagu? Via menerawang, mengingat-ingat apa yang membuat dirinya tidak fokus seperti biasanya. Seingatnya tadi ia bernyanyi seperti biasa, melihat penonton di bawah panggung, dan...
Ah! Via menegakkan punggung, brhasil membuat Adam menoleh. Ia ingat, Alvanlah yang membuatnya tidak fokus sedari tadi. Tatapan cowok yang berdiri di sudut lapangan itu, raut wajahnya, dan entah kenapa ia merasa sakit memperhatikan Alvan saat tadi.
"Udah tau lo penyebabnya?"
Via mengangguk. Ia tahu penyebab ketidakfokusannya. Tapi percayalah, sampai saat ini masih ada banyak hal yang membuatnya penasaran. Sikap Alvan, pandangan mata cowok itu, dan alasan kenapa di saat-saat tertentu Alvan terlihat seperti menahan sakit.
Oh ya, satu hal lagi. Ia juga penasaran kenapa Alvan mendadak saja menjauhi lapangan seorang diri tadi.
"Aku tadi lihatin Alvan, jadi kurang fokus."
"Via..." tegur Adam, cowok itu mengangkat kedua alisnya, memperhatikan Via dengan lembut. "Lo tahukan hal apa yang bisa bikin hancur band kita?"
"Tidak fokus, saling tertutup, dan jatuh cinta," jawab Via, merendahkan suara pada kalimat terakhir.
"Satu lagi," tekan Adam, memperhatikan arah luar melalui pintu dengan serius. Berharap semoga Nial mendadak lewat ataupun masuk dan mendengar suaranya. "Kekanak-kanakkan."
"Udah Dam," Via bangkit dari duduknya, menatap luar sejenak lalu ke arah Adam yang masih saja nyaman dengan posisinya.
"Aku yang buat masalah, jadi aku yang harus selesaikan masalahnya. Biar aku yang temui Nial, kamu tenangin diri kamu dulu, ya?"
"Oke, hati-hati lo," ucap Adam.
Via tertawa, mengangguk, secepat mungkin meninggalkan ruangan itu.
Masih dari dalam ruangan, Adam menghembus napas panjang, menunduk, mengacak rambutnya kesal.
Yang ia tahu, baik logika maupun perasaannya tengah beradu sekarang.
🎁🎁🎁
Sulit. Begitu sulit.
Nial menghembus napas panjang, memperhatikan segelas teh dingin di depannya. Suasana kantin tampak begitu ramai, setelah acara di lapangan usai sepertinya semua mahasiswa menuju tempat ini. Entah untuk sekedar ngadem, nongkrong, ataupun melihat cewek-cewek cantik yang berlalu lalang di sini.
Tapi sungguh, dirinya ke sini hanya untuk melarikan diri. Ia tak ingin menginjakkan kakinya ke dalam ruang musik sementara waktu.
Menghindari Via begitu juga Adam.
Jika ditanya dirinya marah kepada siapa? Maka ia akan menjawab semuanya, kepada kedua sahabatnya itu, atau mungkin dirinya sendiri?
Via yang kurang fokus membuat musik di atas panggung tadi terdengar sedikit hancur. Lalu Adam, harusnya cowok itu mengerti keadaannya, bukannya malah bersikap sinis juga.
Lalu dirinya sendiri? Ya, sifat menginginkan suatu pekerjaan haru tercapai dengan sempurna menjadi satu kelebihan sekaligus kelemahan baginya. Jika apa yang ia harapkan tidak berjalan dengan baik maka seperti ini lah jadinya.
Namun sepertinya, ada alasan lain juga kenapa ia bersikap seperti ini. Tak ada satupun orang yang boleh tahu, baik Adam maupun Via tidak boleh tahu.
Yang boleh tahu hanyalah, Tuhan, dirinya, dan perasaannya saja.
Jika saja kedua orang itu tahu, maka habislah riwayatnya, begitu juga dengan kondisi band-nya.
"Nial..."
Nial mendongak, tanpa ekspresi cowok itu memperhatikan Via yang berdiri di sampingnya. "Kenapa?"
"Maaf," ucap Via.
"Jangan ulangi lagi," suruh Nial, mengalihkan pandangan lalu menyesap teh dinginnya membiarkan Via duduk di seberang.
"Gue enggak suka lihat lo kayak tadi, enggak fokus, lo merhatiin satu orang yang enggak pernah peduli sama lo."
Via mengernyit. "Kamu tau darimana aku merhatiin..."
"Alvan?" sambung Nial, sinis. Bodoh, dalam hati ia mengumpat, tentu saja ia tahu, siapalagi orang yang dilihat Via kalau bukan Alvan? Siapalagi orang yang berhasil membuyarkan pikiran cewek itu?
Via menyukai Alvan, dirinya dan Adam sudah tahu itu.
"Kepala lo transparan, mudah ditebak."
Via menyipitkan mata, memperhatikan Nial setengah pandangan meneliti. "Kalau kamu ngomongnya udah nyelekit gitu, berarti tandanya udah maafin aku ya?"
Nial mengangguk, tersenyum sinis. Lalu menjitak kepala cewek di depannya dengan pelan.
Seandainya melanggar peraturan tidak akan mendapatkan hukuman. Mungkin ia akan mengungkapkan perasaannya pada seseorang.
...
Publish : 11.02.18
KAMU SEDANG MEMBACA
ATSFN SERIES : One Gift for Alvan
Aktuelle Literatur"Kenapa ada warna hitam dibalik warna putih? Kenapa ada kata buruk dibalik kata baik?" Itulah yang menjadi pertanyaan seorang Alvaranda Manathan sekarang. Dirinya yang dulu selalu hidup tanpa beban kini malah berubah menjadi sebaliknya. Semua kesen...