13 :: SO HURT TO BE GROWING UP

60 6 5
                                    

Begitu sakit rasanya bertumbuh menjadi dewasa. Entah itu karena keadaan atau memang kita dipaksa untuk mengikuti segala standar lingkungan

~One Gift for Alvan~

...

Mungkin terdengar membosankan, tapi jika boleh berharap, maka Alvan hanya menginginkan satu hal ... menemukan tempat yang tenang.

Ya, dirinya sangat berharap dapat menemukan dengan cepat. Meskipun entah kenapa semakin dipikirkan semakin mustahil saja rasanya. Apa ini yang dinamakan titik jenuh dan ingin mencari suasana baru? Seperti sebuah hal yang menantang dimana dirinya bebas dan menjadi seperti apa yang diharapkan?

Tidak tau. Diam-diam Alvan menghela napas berat, berjalan menyusuri anak tangga. Untuk saat ini bahakan tidak tau berapa lama.lagi, namun yang pasti dirinya tidak ingin menjawab pertanyaam seperti itu.

Iya dan tidak. Bagaimana pun jawabannya akan menghancurkan dirinya. Lebih baik dirinya tidak tau apa-apa dan biarkan semuanya mengalir tanpa ada harapan.

Tanpa ada harapan huh? Sebelah sudut Alvan terangkat ditatapnya ketiga orang yang tampak berkumpul di depan ruang musik tampak tertawa serta menikmati pergulatan kecil antar sesamanya. Dengan pertanda seperti ini, resmi sudah dirinya menjadi ikan mati, hanya mengikuti arus. Tidak lagi melawan ataupun punya tujun untuk meraih apa yang di depan.

"Permisi."

Nihil, gumaman Alvan diabaikan. Suara tawaan dari seorang gadis terdengar dan dipadukan pula dengan suara bas dsri dua orang yang tengah bergulat dan menjitak kepala shaabatnya antar satu sama lain. Si tukang ikut campur Via, lalu ada makhluk yang tidak bisa diam bernama Adam, dan satu lagi orang yang selalu tampak tidak senang melihat kedatangan seorang Alvan. Siapalagi jika bukan Nial.

Sengaja, Alvan berdehem cukup kuat berhasil membuat Via menoleh belakang begitu juga Adam dan Nial yang menghenti pergulatannya.

Via tersenyum cerah, meskipun dapat Alvan lihat kedua mata gadis itu seakan menatap tidak percaya. "Alvan, kamu-"

"Ini, brosur buat program kalian," potong Alvan secepatnya, menyodorkan beberapa lembar kertas tebal dan mengkilap tanpa berminat.

Katakanlah sebuah keajaiban. Ya, Alvan yang membuat ini dengan penuh kesadaran. Jika saja orang-orang ini tidak ikut campur dengan urusannya semalam maka dirinya tidak perlu repot merasa berhutang dan bersalah. Apalagi Nial yang Alvan akui sekali bicara tidak dapat lagi disaring oleh siapa-siapa.

"Wih!" Adam menatap berbinar, tanpa basa basi disambarnya lembaran brosur tersebut dari tangan Via dengan cepat. Via berteriak tidak terima namun nihil diabaikan oleh Adam. "Gila Van, jago banget lo buat ginian! Belajar darimana? Oh ya, btw thanks. Bagus bener ini dah!"

Memanfaatkan teknologi yang ada. Ingin rasanya Alvan menjawab jika saja dirinya memiliki rasa rajin untuk mengeluarkan suara atau pun berbicara panjang. 

"Perpaduan warna, gambar, sama bahan kertasnya," Adam membolak-balikan kertas dengan ujung jari lalu menggeleng tidak percaya. "Lo buat dalam sehari?"

Hanya beberapa jam, lagi-lagi Alvan hanya bisa membatin. Tak ingin memperpanjang pembicaraan, dirinya hanya mengangguk singkat sebagai pertanda iya.

"Oh ya Van," Kini Via ikut bicara, gadis itu meronggoh sesuatu dari tas sandang hitamnya susah payah, sesekali mengeluarkan binder dari sana. "Ini biayanya berapa? Biar bisa dibayar pakai ang-"

"Nggak usah ... " Gagal sudah untuk tidak berbicara panjang. Pada akhirnya satu hal yang diketahui Alvan, orang-orang ini mempunyai berbagai macam topik yang mau tidak mau menggagalkan niatnya untuk menghemat tenaga. "ambil aja. Gue enggak mau hutang budi sama kalian cuma gara-gara masalah semalam. Sekarang, utang gue udah selesai jadi-"

"Mau menghindar lagi lo?" Nial tadinya diam kini bersuara. Alvan yang baru saja ingun melangkah kini emngurungkan niat, ditolehkannya kepala dan mendapati senyuman sinis dari pemilik kemeja berkotak abu tersebut. "Buat brosur ini aja nggak bakal cukup buat menuhin utang budi lo."

Tanpa dapat ditahan, tangan Alvan tergepal, gigi itu memggertak geram dan maju dengan cepat. "Jadi lo permainin gue hah!"

Hanya ada senyuman sinis diiring dengkusan dari Nial. Berbanding terbalik dengan kedua orang di samping Alvan dan Nial sekarang. Via yang berusaha menenangkan seakan meminta Nial untuk mengusaikan segalanya, begitu juga dengan Adam yang menahan sebelah gepalan tangan Alvsn yang hampir terangkat dan melayangkannya tepat di tulang pipi Nial.

"Cinta damai elah! Udah tua-tua, susah bener! Sadar umur woi! Van, turunin tangan lo dulu, oke?" Tanpa menunggu jawaban dari Alvan, Adam menurunkan gepalan tangan itu dengan hati-hati lalu beralih lagi kepada sebelah tangan Alvan yang mencengkran kerah kemeja Nial dengan erat. "Sabar bro."

Cengkraman dilepaskan. Nial tersenyum puas seraya membenarkan kemeja dengan sebelah tangan. "Lo juga Nial, ingat muka lo dari lahir emang kayak ngajak ribut. Jangan lo perdalami karakter itu."

Tak ada jawaban, hanya lirikan tajam yang beralih kepada Adam seakan mengancam.

Adam membungkam sesaat, lalu mundur selangkah. 

"Gue enggak permainin lo," jawab Nial mengalihkan pandangan kembali kepada Alvan. Tatapan tajam dan  rahang mengeras yang seakan tidak pernah senang. Bukankah Nial benar-benar hafal dengan gestur tubuh seperti itu? Ya, sebuah gestur kekanak-kanakan dan demi apa seseorang akan terjebak di sana jika saja tidak menyadarinya dengan cepat. "Makasih udah turut bantu. Tapi kalau lo anggap semua urusan itu udah selesai maka lo salah."

Alvan menahan napas, masih menatap tajam.

Nial tertawa tanpa suara, menyeringai. "Ini baru separuh dari program dan kita masih punya banyak program. Kalau lo emang masih punya nyali seorang laki-laki, lo enggak bakal melarikan diri kayak gini."

"Lo memang ngajak ribut," bisik Alvan menekankan. "Perlu ditekankan, gue nggak melarikan diri sama sekali."

"Bohong," balas Nial semakin menekankan. Sebelah alis itu terangkat seakan meremehkan. Ah, bukan seakan, namun .emang iya. Alvan di hadapannya saat ini bukanlah apa-apa. Alvan yang menyebalkan ini hanya orang sok kuat yang begitu kekanakan. "Lo bisa jadi seperti ini karena lo melarikan diri."

Hawa dingin menjalar keduanya, baik Adam maupun Via memilih tidak berkutik, hanya mengamati. Sebuah pembicaraan yang tidak bisa sembarang orang mengerti. Ya, hanya orang-orang tertentu yang pernah mengalami.

"Lo lemah, pecundang." Belum sempat Alvan memberontak, buru-buru Nial menambahkan. "Tapi seandainya lo memang mau menepis ucapan gue, buktikan lewat program yang Adam sama Via buat. Tunjukan ke gue apa ini benar-benar diri lo atau cuma sekedar kamuflase buat bertahan hidup."

Alvan menggeram, merasa emosinya diubun-ubun secepat mungkin ia menelan ludah, berusaha meredamnya. "Jadi lo benar-benar nantang gue?"

Nial mengangguk tenang,  menyambar beberapa lembar brosur dari tangan Adam lalu menyatu bersama beberapa kelompok mahasiswa yang sedang berjalan melewati lapangan.

Nial, Alvan mengepalkan tangan dengan erat, menatap wajah itu dengan tajam. Si sialan itu, benar-benar menyebalkan bukan?

____
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Terimakasih yang masih menunggu Alvan, makasih yang masih setia dengan salah satu si kembar ini wkwkwk. Semoga part ini sedikit mengobati rasa rindu kalian wuehe.

Alvan : maaf, gue enggak punya kembaran.

Alvin : *gadenger *gadenger *jauhsoalnya

Up : 03.12.20

Masih edisi nggak nyangka, bisa 1k words dalam satu jam.

ATSFN SERIES : One Gift for AlvanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang