Kamu boleh salahkan orang yang kamu sayangi berubah, tapi di balik penyalahanmu, kamu harus tahu kenapa dia berubah.
~One Gift for Alvan.
...
"Ah! Gerah gue!" keluh Adam, cowok yang berdiri di belakang panggung itu berdecak, seraya menarik-narik kerah kaos hitamnya untuk mencari angin.
Matahari sudah tampak naik, lapangan kampus tampak terik dan parah lagi band-nya mendapatkan urutan kedua-dari-terakhir.
"Kalau tau gini mending gue masuk kelas. Rugi gue absen sekali. Jangan sampai nilai gue anjlok kayak semester kemarin."
Via yang berdiri di samping Adam tersenyum, menggeleng pelan. Seperti itulah Adam, lebih berisik dibandingkan Nial. Tampak berantakkan memang tapi anak itu sangat peduli dengan kuliahnya. Nilai yang sebegitu tinggi saja bagi Via malah dikatakan anjlok oleh Adam.
Di antara dirinya, Adam, dan Nial. Maka yang palinhmg encer otaknya adalah Adam. Terkadang Via prihatin, saat tugas kelompok diadakan Adam lah yang lebih banyak bekerja dibanding ia dan Nial.
Sekarang, biarlah urusan band dirinya dan Nial yang lebih banyak bekerja. Hitung-hitung membayar kesalahan yang selalu ia buat bersama Nial, datang terlambat, memasang muka bingung ketika cowok itu mengajari beberapa materi yang dikurang pahami, dan sudah dipastikan saat-saat itu Adam tak punya teman untuk diajak berdiskusi.
"Sekali aja Dam, enggak bakal ngaruh kok," tenang Via.
Adam melirik Via. "Gue heran ya sama lo. Di sekolah kemarin lo rajin amat dah, sekarang kenapa jadi gini ya?"
Via tertawa pelan, menjulurkan lidah. "Sesekali aku mau senang-senang. Tenang aja, pelajaran enggak bakal aku lupain kok."
Lima menit berlalu, salah satu band di panggung telah usai melantunkan nadanya. Kini sudah saatnya ketiga orang itu meniaki panggung.
Nial memperhatikan Via, begitu juga Adam. Via yang menjadi titik pusat vokalis itu tersenyum, mengangguk yakin.
Langkah demi langkah mereka menaiki panggung, Adam duduk di posisi drum, Nial mengambil gitar lalu menyandangnya, dan terakhir...
Via memejamkan mata, berdiri memegang stand mic. Dari bawah panggung, para penonton menatap penasaran, hening, sekaligus tertarik.
Alunan gitar listrik mengalun, disusul dengan suara drum. Via memegang mic-nya erat. Membuka mata perlahan.
Cinta yang telah ku berikan padamu
Cinta yang tulus untukmu
Telah ku relakan semua keinginanmu
Tapi kau tak pernah mengertiPenonton melambaikan tangan ke kiri kanan, menyesuaikan alunan lagu, sendu, enak di dengar, tak dipungkiri pula mungkin bagi beberapa orang liriknya mempunyai makna yang begitu dalam.
Drum berbunyi semakin kuat, Via mengangkat kepala, mulai menikmati dengan nyanyian yang ia lantunkan.
Mendadak saja, kosentrasinya nyaris buyar begitu menatap seseorang yang berada di sudut lapangan. Cowok, dengan kemeja warna kesukaannya, dan tatapan datar itu terus memperhatikannya.
Seraya melantunkan lagunya Via terus memperhatikan orang itu. Tidak, dirinya salah, tatapan itu tidak datar, tatapan cowok itu terasa kosong, sangat kosong seraya menerawang jauh.
Alvan?
Entahlah, kedua alis Via terangkat. Yang jelas, melihat ekspresi cowok itu berhasil membuyarkan pikirannya seketika.
🎁🎁🎁
Memang tidak salah lihat.
Via seratus persen benar, penglihatan cewek itu benar-benar masih bagus dan cukup tajam.
Telah ku relakan semua keinginanmu
Tapi kau tak pernah mengertiTelah ku coba tuk mengerti kamu
Tapi ternyata kau khianatikuSuara halus nan nyaring itu mengalun. Alvan berdiri tegap di sudut lapangan membiarkan dirinya berteduh di bawah pohon.
Entahlah. Mendadak saja tubuhnya bergerak menuju lapangan. Berada di tempat ramai seperti ini, dan bodohnya mencoba hal yang sama seperti yang pernah ia lakukan saat bersekolah kemarin.
Bodoh.
Entah berapa kali ia mengutuki diri dalam hati. Dirinya mulai ridih sekarang, apalagi nada yang mengalun begitu tinggi dan sendu, membuatnya semakin menerawang jauh dan mengingat kenangan gang berhasil menghujan dadanya itu.
Maafkanlah aku, ku coba lupakan
Semua yang pernah kita lewati
Bukan karena aku tak mencintaimu
Karena aku tak pantas bagimu
Pergilah kau cinta sejatikuTerserah, apapun itu Alvan tak peduli. Diam-diam kedua tangan itu tergepal erat, menahan napas.
Baiklah, ini terdengar aneh bagi seorang cowok, aneh bagi orang seusianya, dan harusnya ia benar-benar tidak melakukan ini.
Entah kenapa, setiap alunan musik, setiap nuansa yang berada di sekitar sini membuat dirinya ingin merasakan kebahagiaan bersama sahabat-sahabatnya dulu.
Saling mengejek satu sama lain, dan tak ayal pula berakhir dengan tawaan yang membahagiakan.
Sungguh berbeda dengan sekarang.
Sendiri.
Ia benar-benar sendiri sekarang.
Bahkan di tengah keramaian ia merasa sendiri.
Tak ingin pikiran gilanya semakin liar. Secepat mungkin Alvan melangkahkan kaki, keluar dari lapangan, menuju tempat parkiran dan menutup pintu mobilnya denga kasar.
Alvan menggertak giginya geram, berusaha menghentikan pikiran yang berkecamuk di otaknya. Dimasukkannya kunci mobil, lalu menghidup gasnya.
Mobil berjalan menjauh, terus menjauh universitas. Dengan rasa sesak yang menghujam dadanya, Alvan memijak gas mobilnya dengan kuat, berbagai macam klakson kendaraan tak terhindarkan lagi terus berbunyi kepada mobilnya.
Alvan menggeram, memukul kemudinya dengan erat. Dikerjapkan mata berulang kali, menghalangi caairan bening yang perlahan keluar dari sana.
Satu-satunya tempat yang ia kunjungi ketika merasa sakit.
Satu-satunya tempat yang benar-benar membiarkan ia seorang diri. Menerima apa adanya tanpa banyak tuntuntan.
Alvan menyeringai, membelokkan mobilnya.
Ya, hanya tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATSFN SERIES : One Gift for Alvan
General Fiction"Kenapa ada warna hitam dibalik warna putih? Kenapa ada kata buruk dibalik kata baik?" Itulah yang menjadi pertanyaan seorang Alvaranda Manathan sekarang. Dirinya yang dulu selalu hidup tanpa beban kini malah berubah menjadi sebaliknya. Semua kesen...